Hoax dan Kaum Sumbu Pendek di Medsos
Riki Asiansyah
Aku
tertarik dengan ucapan seorang filsuf Karl Raimund Popper, “Realitas merupakan
dunia ketiga, dunia yang berisikan pikiran manusia dan produk pikiran manusia”.
Jadi, tidak mengherankan kalau saat ini kita lihat Indonesia termasuk salah satu
produsen dan konsumen kabar bohong alias hoax terbesar di dunia. Berkaca
dari pengguna media daring dan media sosial, tempat virus berbahaya itu
mula-mula menyebar tanpa terkendali.
Data terakhir dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, awal 2016 terdapat
tidak kurang dari 800 ribu situs yang diduga menjadi produsen virus hoax,
berita palsu, dan ujaran kebencian.
Dan itu
belum termasuk dari status pribadi yang ada di media sosial. Melihat minat
baca masyarakat kita yang sangat-sangat rendah, sehingga jangankan selektif mencari kebenaran sebuah informasi atau mengklarifikasi, alih-alih itu bukan kebiasaan
bagi mereka yang tidak terbiasa menggunakan akal sehat.
Meminjam
istilah yang belum lama ini dikemukakan Jaya Suprana, “hoax adalah anak haram
demokrasi”. Di mana kebebasan berpendapat disalah-praktikkan. Kebebasan berpendapat dan
berekspresi sebagai anugerah demokrasi, sering disalah-tafsirkan oleh banyak
orang, kebebasan berpendapat malah dijadikan ajang untuk menjelek-jelekkan
pihak lain, menghina, dan fintah.
Kerasahanku
ini bermula dari status maupun postingan yang tersebar melalui Facebook,
Twiter, Instagram, hingga grup-grup Whatsapp yang berisikan sampah informasi,
bertebaran secara masif tanpa verifikasi dan konfirmasi. Hoax,
desas-desus, fitnah, dan hujatan bersahut-sahutan bagai pantulan gema nyaris
tiada henti di linimasa media sosial. Informasi yang bisa menimbulkan fitnah datang
silih berganti.
Hampir semua
kalangan bisa menjadi korban hoax, dari tingkat usia anak-anak hingga
orang tua, dari anak sekolahan hingga mereka yang bertitel doktor. Pegawai, pejabat,
dosen, wartawan, mahasiswa, pelajar, petani, nelayan, polisi, tentara, dokter,
bidan dan berbagai profesi lainnya, sampai dukun pun bisa menjadi korban. Dan
malah profesi di atas tidak menutup kemungkinan termasuk dalam lingkaran setan
dengan skema bangunan segi tiga hoax—seperti dalam bayanganku;
Penyedia-penyebar-konsumen—dan di lain waktu yang sebagai konsumen bisa menjadi
penyebar maupun penyedia. Kecuali bagi mereka yang konsisten menjaga integritas
dalam hidupnya.
Namun, yang
lebih miris lagi, mereka korban hoax, yang sering disebut kaum sumbu
pendek atau sebutan lainnya pentol korek, bumi datar, merupakan
orang-orang di sekitar kita. Seperti teman, kenalan, sahabat, senior di
organisasi, sampai saudara sendiri yang sering mengakses berita dengan skema
efisien dalam mencerna suatu berita. Baca Judul, syukur-syukur sampai beberapa
paragraf ke bawah, terprovokasi, kepala mulai terasa panas, tersulut emosi, tangan geregetan,
klik lalu share dengan tambahan kata-kata semisal; Presiden komunis,
sholat syiah, ada apa dengan polisi?, panglima TNI berseberangan dengan
presiden, kriminalisasi ulama, penistaan dsb.
Dan yang
lucunya, mereka penyebar berita-berita provokasi, dusta atau hoax itu
sering menggunakan istilah-istilah atau nama berbau islami untuk akun berita
atau media sosialnya, dan itu dengan follower yang mencapai belasan
sampai puluhan ribu di Instagram, Facebook, Twiter, Youtube.
Kadang aku
berpikir, apakah mereka tidak takut kualat, dan para follower-nya kok
bisa bejibun ya? Aku jadi teringat dawuh KH Said Aqil Siraj,
“Perbuatan paling zalim di muka bumi ini adalah melakukan kejahatan atas nama
agama.”
Jika
beberapa waktu lalu sedang hit lagu berjudul “Surat Cinta Untuk Starla” yang
dibawakan penyayi solo Virgoun. Maka izinkan aku membuat sebuah surat.
Judulnya: Surat Cinta Untukmu Saudaraku
Kutuliskan
surat ini karena engkau saudaraku dalam iman, kebangsaan, dan kemanusian.
Sekarang coba kita mulai dengan cek halaman profil kita di Facebook, Instagram,
Twiter, Youtube, barangkali dari sini kita bisa perbaiki ukhuwah islamiyah,
wathaniyah, basyariyah.
Sebelumnya
aku ingin mengatakan apakah engkau cinta Nabi-Mu—Kanjeng Muhammad Rasullulah?
Aku pernah
membaca riwayatnya dan mungkin engkau juga. Bahwa beliau pernah satu bulan
berdiam diri di rumahnya menunggu jawaban dari Tuhan-Nya.
Karena apa?
Apakah engkau bertanya?
Karena
beliau sedang dirundung gelisah sedih tak terkira saat rumah tangganya,
keluarganya sedang mendapat fitnah keji luar biasa.
Istrinya
Aisyah Ra, difitnah telah melakukan perselingkuhan dengan salah satu sahabatnya
Shafwan ibn Muaththal.
Sampai Allah
SWT menyelamatkan Aisyah Ra. Dengan menurunkan wahyu:
“Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.
Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia baik
bagi kamu. Tiap-tiap seorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang
dikerjakannya. Dan siapa diantara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaranberita bohong
itu baginya azab yang besar. (QS. An-Nur: ayat 11-21).
Jangan
sampai kita menjadi bagian dari hal yang membuat Rasullulah—pemimpin kita—sedih dan murka. Sampai tak mau menatap wajah kita kelak di surga atau bahkan neraka.
Mari
sama-sama kita berkaca apakah kita sudah selamat dari bagian berita dusta? Mari
cek kembali postingan kita, status kita, berita yang kita share, apakah sudah
selamat dari kejinya fitnah?
Komentar
Posting Komentar