Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2017

Sesobek Refleksi Keindonesiaan Kita

Gambar
Riki Asiansyah Hiruk pikuk di media sosial maupun media arus utama belakangan ini, tidak jauh dari rasa curiga antarsesama anak bangsa, toleransi yang mulai memudar, serta merasa kelompoknya paling benar dan memaksakan kehendak. Banyak yang memakai cara-cara menyampaikan pendapat maupun kritikan yang jauh dari etika dan budaya bangsa yang luhur. Belum lagi, masih ada orang-orang tidak tahu diri mengotak-atik kesepakatan ( social society ) pendiri bangsa ini, yakni ideologi Pancasila yang sudah final. Jika fenomena ini dibiarkan, tinggal menunggu waktu hancurnya keindonesiaan kita. Dinamika kehidupan berbangsa dewasa ini memasuki babak baru namun sebenarnya tidak jauh dari persoalan-persoalan yang telah lalu. Kita seperti sebuah bangsa yang tidak pernah belajar dari pengalaman-pengalaman yang telah mengiringi jatuh bangunnya bangsa ini, tanpa mengambil manfaat dari pengorbanan tragedi-tragedi kelam itu. Konflik SARA yang pernah terjadi di masa lalu menjadi pelajaran ama

Aku Tak Ingin Dewasa, Aku Tak Ingin Peduli

Gambar
Muhammad Ihsan Yurin Beberapa minggu yang lalu aku ditanya seorang teman lama semasa SMK, Pralegi namanya. “Pernahkah kau bermimpi bahwa pintu teleportasi Doraemon benar-benar menjadi kenyataan? Atau sederhananya, agar kita lekas dewasa dan meninggalkan zona bermain-main ini?” Dengan cengengesan aku pun menjawab, “Pernah, dan tak lagi pernah mimpi itu ku ulangi”. “Kenapa? Bukankah menjadi dewasa itu menyenangkan? Salah satunya kita akan terbebas dari semua belenggu perkuliahan yang membosankan ini.” Aku pun diam dan kami berdua hening dalam dekapan dinginnya malam dan kepongahan bulan terhadap matahari. Sunyi. Beberapa orang sudah, bertanya seperti apa yang Pralegi tanyakan padaku. Biasanya aku akan menjawab pertanyaan mereka dengan sebuah pertanyaan lagi, “Pernahkah kau memperhatikan bumi ini? Keanehan-keanehan yang kerap muncul tanpa sebab dan asal-usul yang jelas? Atau implikasi sederhana dari lirik Banda Niera bahwa tak semua tanya datang beserta jawabnya? Atau apa pu

Memberangus Kebebasan Akademis

Gambar
Rico Mardianto Lagi-lagi peristiwa memalukan terjadi di kampus UIN Suska Riau. Sehari jelang pelaksanaan kuliah umum bertajuk “Meracik Fiqh Nusantara Mewujudkan Masyarakat Rahmatan Lil Alamin” dengan pembicara Prof Dr KH Nadirsyah Hosen, di media sosial heboh rencana penolakan oleh sekelompok mahasiswa. Acara yang sedianya digelar di aula Gedung Rektorat pada 17 Mei, terpaksa dialihkan ke Hotel Grand Suka Pekanbaru lantaran mendapat penolakan dari kelompok mahasiswa tadi. Atas kejadian ini, Rektor UIN Suska Prof Dr Munzir Hitami, yang hadir di acara itu meminta maaf secara lisan dalam sambutannya dan dilanjutkan secara tertulis kepada pembicara yang merupakan tokoh Nahdlatul Ulama dan dosen senior Monash University, Australia itu. Rektor sangat menyayangkan penolakan oleh BEM UIN Suska sebab hal itu jelas-jelas telah melukai kebebasan mimbar akademik yang selama ini kita panggul. Mereka yang menolak, menganggap pemikiran Gus Nadir, panggilan akrab Nadirsyah Hosen, berbahaya s

Membela Feminisme, Menghapus Paradigma

Gambar
Rozi Ahmadi Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang dihelat penghujung April lalu di Pesantren Kebon Jambu, Cirebon, mengindikasikan bahwa gerakan feminisme di Indonesia kian menguat. Kongres perdana itu dihadiri lebih dari seribu ulama perempuan, aktivis dan akademisi dari pelbagai latar belakang.  Mereka mengonsolidasikan pemikiran untuk isu-isu yang menjadi kegelisahan kaum perempuan. Berangkat dari keprihatinan berbasis riset dan pengalaman, mereka merumuskan solusi atas soal-soal kekinian yang dihadapi kaum perempuan Indonesia—yang berpangkal dari paradigma yang membelenggu kaum perempuan, serta melawan sistem patriarki yang telah bercokol di negeri ini sejak beratus tahun lampau. Para perempuan ulama itu menyuarakan semangat feminisme, menyeru agar kaum perempuan terus membuka diri untuk beraktivitas di ruang publik, tak sebatas kesetaraan profesi umumnya dengan kaum laki-laki, tapi juga dimungkinkan berperan menjadi ulama, ketua organisasi keagamaan bahkan menjadi hak

Matoa: Potret Manusia Miskin Problema

Muhammad Ihsan Yurin Sore itu, saya agak tidak bersemangat menyongsong acara temu ramah senior-junior yang diadakan di salah satu kafe bernuansa borjuis di Pekanbaru. Ekspektasi tentu tidak selalu berbuah. Berbuah manis ataupun pahit, itu berbuah juga namanya. Dan saya yakin, ekspektasi saya mandul kala itu. Flat saja. Tidak menghasilkan atmosfer apapun. Abstrak. Selepas isya, saya berangkat menuju venue. Tidak lupa dengan wardrobe kebanggaan yang sering saya kenakan: celana cingkrang plus baju satir zionis dengan sandal Swallow jepit hijau lengkap gelang etnis di sekujur pergelangan tangan. Sesampainya di lokasi, sorak sorai sangat membahana. Beberapa wajah senior tampak begitu kontras dengan wajah lainnya. Dan, saya kok merasa wajah yang Tuhan berikan ini lebih senior ketimbang senior-senior itu. Entahlah, mungkin perasaan saya saja.  Lalu saya duduk bergabung dengan gerombolan “anak bawang” lainnya sambil sedikit haha-hihi dan mesem-mesem saat beberapa teman aktif menga