KKN, Potret Buram Tujuan Pengabdian

Putri Sari Dewi


Nyaris tiap tahun program KKN (Kuliah Kerja Nyata) di UIN Suska bermasalah. Biasanya, masalahnya masih seputar itu-itu saja. Dari awal pembukaan pendaftaran hingga nantinya soal kekurangan dana di lokasilah, jaketnyalah, uang asuransinyalah, masalah inilah, masalah itulah, dan seabrek problema lainnya, yang mana mahasiswa selalu menjadi pihak yang tertindas dibikin repot. Belum lagi masalah di lokasi KKN, ditambah lagi persoalan bakal digoda pemuda-pemuda desa.

Tapi, kali ini saya tak banyak menyinggung soal itu, alih-alih saya ingin menyampaikan keresahan saya tentang kaburnya tujuan sebuah pengabdian. Apa sebetulnya tujuan kita melaksanakan tri dharma perguruan tinggi ke tiga ini? Untuk mengabdi setulus hati atau tujuan lain yang intinya kesenangan atau barangkali keterpaksaan saja untuk memenuhi target SKS.

***

Sejujurnya, saya belum banyak mengetahui daerah di provinsi di mana saya dilahirkan. Saya hanya gambling untuk menentukan lokasi KKN. Berbekal informasi teman dari jurusan Administrasi Negara, saya memilih kabupaten Indragiri Hilir untuk mengabdi.

Sepertinya tren pengisian lokasi KKN secara online yang menyusahkan mahasiswa dari tahun ke tahun belum berubah. Terbukti, di tahun ini, mahasiswa harus bercengkerama dengan dinginnya lantai teras gedung Puskom (Pusat Komputer) hingga larut malam, seperti tahun lalu. Selain itu, banyak mahasiswa yang mengeluh karena lokasi yang ditampilkan di website LPPM hanya nama kabupaten sedangkan kecamatan dan desa ditampilkan dalam bentuk kode angka. Seperti beli kucing dalam karung.

Keluhan tersebut beralasan. Ada mahasiswa yang merasa tidak logis apabila lokasi KKN dipilih tanpa mengetahui lokasi yang akurat. Sebab mereka dari jauh-jauh hari sudah menentukan dan mengharapkan di mana akan melaksanakan agenda tahunan dari pemerintah ini. Umumnya mahasiswa sudah mengadakan survei kecil-kecilan dengan bertanya kepada senior-senior yang sudah lebih dulu mencicipi dunia per-KKN-an. 

Oalah Dek, jangan di lokasi B, airnya keruh seperti teh.”

“Kakak beri saran di lokasi C saja. Kualitas sinyal bagus, bisa buka Youtube, jadi nggak ketinggalan nonton drama Korea.”

“Di daerah yang banyak objek wisatanya saja, Dek. KKN itu sekalian liburan. Juga mana tahu ketemu jodoh, Ha-ha-ha-ha.”

What? Katanya Kuliah Kerja Nyata atau mengabdi ke masyarakat, tapi alasan yang terakhir ini malah tidak mendefinisikan KKN yang sesungguhnya. Sudah lari jauh dari garis awal tujuan KKN diadakan. Sepengetahuan saya, KKN merupakan kesempatan baik untuk mengimplementasikan ‘Mars Mahasiswa’ yang dulu pernah kita lantunkan ketika masih umbelen, masih imut (baca: mahasiswa baru). Kalau menurut eyang gugel, KKN ialah bentuk kegiatan pengabdian kepada masyarakat oleh mahasiswa dengan pendekatan lintas keilmuan dan sektoral pada waktu dan daerah tertentu (sumber: Wikipedia).

Realisasinya? Saya ambil contoh pelaksanaan di desa saya saja. Setiap “anak KKN”—begitu biasanya masyarakat membahasakannya, setiap tahun, setiap berganti wajah, tetap saja tidak ada perubahan signifikan kecuali plang nama kantor desa, plang nama jalan yang diganti atau acara panjat pinang di setiap Agustusan. Lho, Mbak, Mas, kalau sekadar mengganti papan nama dan buat acara rame-rame kayak begitu saya yakin masyarakat desa juga bisa tanpa campur tangan kita mahasiswa. Sebenarnya mahasiswa itu agent of change atau agent of event organizer? Apalagi yang ngarep bakal ketemu jodoh. Huwalaaa, kita ini sepertinya terlalu banyak nonton FTV, Kepala Desa Idolaku, Cintaku Mentok di Kamu, Bapakku Juragan Kambing Etawa. Apa ini? Hingga kemudian FTV dan drama Korea membuat, wanita-wanita khususnya, jadi doyan berimajinasi berbuntut delusi. Ckckck, kasihan.

Stimulus yang diberikan dosen ke mahasiswa pun turut dipertanyakan. Selama saya berada di kampus yang katanya madani ini, amat jarang dosen menuntun mahasiswanya menjadi “pelayan masyarakat”. Saya tiba-tiba ingat workshop yang saya ikuti beberapa waktu lalu. Pembicara A mengatakan dengan tersirat bahwa saat ini, segala sesuatu yang berkaitan dengan bidang keilmuan harus menghasilkan uang. Beliau juga mengatakan sedang dalam tahap merampungkan sebuah buku. Sekali lagi, agar membuka lebar pundi uang untuk kantong beliau. Pemateri B hampir seirama: Memanfaatkan skill yang dimiliki untuk menghasilkan uang. Salah? Tidak. Itu hal yang baik. Bukannya sistemnya memang seperti itu? 'Melacurkan' skill untuk uang. Yang saya sesalkan ialah statement beliau yang sepertinya menjadikan uang sebagai tolok ukur kesuksesan dan kebahagiaan. 

Mungkin cara pandang saya yang picik atau retorika mereka yang tidak saya sukai perihal mengkultuskan uang, tapi saya sudah terlanjur melabeli dua manusia itu dengan cap materialistis. Sesudah ini saya akan mengambil air wudhu, mau salat taubat!

Universitas sejatinya tempat untuk menempa manusia sebagai insan yang berintelektual dan berakal. Mars mahasiswa yang bergema di UIN Suska Riau hanya menjadi omong kosong belaka jika dosen masih memberi stimulus bahwa selepas dipindahkannya tali toga, tolok ukur kesuksesan adalah  jabatan dan status sosial. Saya merasa jengah. Acap kali dosen berdongeng tentang alumni X yang sudah menjadi direktur di media Z, atau menjadi ini dan itu. Saya selalu mbatin, untuk apa memiliki jabatan tinggi, sepatu mengkilap, rambut klimis, tapi hidup di bawah ketek kapitalis dan telunjuk penguasa zalim.

Bukannya sebagai media pelantang suara kaum proletar, membela wong cilik. Halah! Gombal! Yang ada malah saya dan ibu saya sering bergelut. Kalau Mak e sedang nonton berita, darah tingginya bisa kumat dikompori propaganda ala media. Salah siapa ini? Rumput yang bergoyang?

Agent of change, katanya. Entah siapa dan apa yang akan berubah. Kuliah Kerja Nyata dijadikan ajang cari jodoh dan liburan. Tidak salah juga sebenarnya asal tujuan awalnya tercapai.

Praktik lapangan dari teori mars mahasiswa, atau membuktikan apakah manusia itu benar makhluk sosial. Dan juga menguji teori S-R (Sitimulus-Respon) pada mata kuliah Pengantar Komunikasi dulu dan bonusnya, siapa tahu bertemu jodoh. Ha-ha-ha-ha.

Sebagai catatan, tulisan ini bukan untuk menghakimi atau memukul pihak mana pun. Tulisan ini sebagai media menampar diri sendiri di kala lupa dan mulai kehilangan akal sebagai mamalia yang berfikir.

Komentar

  1. Luar biasa, anak muda sekarang sudah lebih terbuka cara pandang melihat realita Kampus ya. Selamat dan Semangat untuk lebih baik.

    BalasHapus
  2. Tak payah saya koment om tante sekawanan matoakita, wkwk.
    Keren pokoknya...
    Salut saya, semoga yang saya pahami dari membaca tulisan diatas seirama dengan gerak jari si-pengetik.
    Saya melihat konsep, sasaran, dan pemberian efeknya kaya banget.
    Kesimpulannya, semoga yang saat ini lagi mau kkn semoga tabah ya. Tabah memikul beban atas tulisan keren jari sendiri๐Ÿ˜„๐Ÿ˜„๐Ÿ˜„

    BalasHapus
  3. Tak payah saya koment om tante sekawanan matoakita, wkwk.
    Keren pokoknya...
    Salut saya, semoga yang saya pahami dari membaca tulisan diatas seirama dengan gerak jari si-pengetik.
    Saya melihat konsep, sasaran, dan pemberian efeknya kaya banget.
    Kesimpulannya, semoga yang saat ini lagi mau kkn semoga tabah ya. Tabah memikul beban atas tulisan keren jari sendiri๐Ÿ˜„๐Ÿ˜„๐Ÿ˜„

    BalasHapus
  4. terimakasih atas cerita kisah deritanya, terbaik lah MatoaKita.
    mungkin di tahun saya yang akan datang bisa jadi juga seperti ini.... sampai jumpa tujuan yang salah.
    untuk MatoaKita tetap menginspirasi dari setiap tulisannya, dan membuat mahasiswa lebih sadar dan terbuka jalan fikirannya :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wadin dan Sarung Hijau Lumut

Salahkah Aku

Dialog Warung Kopi