Menjadi Tukang Gambar di Boco Kopi

Oleh M. Ihsan Yurin

Kegiatan Tukang Gambar di warkop Boco Kopi setiap Kamis mulai jam empat sore sampai pegal.
(Semua foto adalah dokumentasi Boco Kopi)

Ada yang pernah dengar istilah Boco Kopi? Anak Universitas Islam Riau (UIR) penghobi seni dan senang keliaran malam pasti sudah tidak asing lagi dengan nama salah satu warung kopi (warkop) yang baru buka sebelum Ramadan beberapa purnama lalu itu. Ya, Boco Kopi adalah nama warkop bertema klasik dan “amburadul”. Khas karakter seniman yang sering kalian lihat di televisi.

Di sini kalian bisa nyeruput aneka kopi mulai dari robusta sampai varian arabika dan membaca buku sekaligus bertemu orang-orang “aneh”. Sekali lagi, khas seniman yang sering kalian lihat di televisi: gondrong, kucel, celana rowak-rawek belel entah sudah berapa lama tidak laundry, ikat pinggang dari tali rafia, sepatu Convers buluk, dan lainnya. Tapi jangan salah, kategori orang aneh yang akan kalian temukan bukan hanya itu. Orang aneh juga punya varian seperti kopi. Kalian juga akan temukan pria-pria modis modern, wanita-wanita berjiwa seni yang ayu, manis, berhijab, dan tentu saja, terlihat bersih.


Berlokasi di Jalan Air Dingin, Marpoyan (cek di Google Maps ada lho, ndak usah kampungan), adalah Ajiz Febriadi dalang di balik berdirinya warkop keren ini. Setelah berkeliaran menjelajah beberapa tempat di tanah air, sebut saja salah satunya Yogyakarta, Ajiz yang merasa tertempa oleh lingkungan literasi Yogya berimpian mendirikan tempat santai dengan buku sebagai pemantik perkumpulannya. Akhirnya sebulan sebelum puasa 2018, Ajiz pulang dari Yogya dan langsung mengeksekusi impian tersebut. Maka terciptalah Warkop Boco Kopi yang berarti baca dan kopi.

 “Teman-teman butuh tempat seperi ini”

Saat ditanya-tanya, Ajiz mengatakan bahwa Boco Kopi ia dirikan untuk teman-teman. Maksudnya, Ajiz merasa perlu ada wadah untuk berkumpul dan dapat digunakan sebagai basis teman-temannya untuk terus berkarya. Di Boco Kopi, kalian tidak hanya akan temukan penongkrong yang melulu sibuk dengan gawai dan game online—walaupun itu juga tidak salah—namun, akan selalu ada kreativitas seni yang dapat dinikmati. Mulai dari menggambar dan melukis, membaca puisi, membaca cerpen, dll. Dan yang sangat menarik perhatian saya adalah kegiatan rutin mereka di hari Kamis yang sudah berlangsung tiga minggu terakhir. Mereka menyebutnya: Tukang Gambar.


Tukang Gambar adalah kegiatan mingguan Boco Kopi yang mengundang siapa pun yang melihat dan mendengar sounding yang telah disebarluaskan untuk datang dan menggambar bersama. Boco Kopi akan menyediakan tinta, kuas, pensil, dan alat-alat lukis lainnya termasuk kertas A3 sebagai media gambar. Yang menarik dari kegiatan ini adalah, Boco Kopi tidak memungut biaya apa pun dari fasilitas gambar yang digunakan pengunjung (paling tidak hingga tulisan ini dibuat), dan selalu ada tema berbeda setiap minggunya. Misalnya dua minggu lalu bertema dukungan moril kepada korban bencana dan minggu ini, Boco Kopi berkolaborasi dengan Bikin Ruang, mengusung tema Menggambarkan Foto. Yaitu, pengunjung diberikan sebuah foto cetak fisik untuk dapat digambar dan coret-coret sesukanya. Nantinya, foto-foto tersebut akan coba ditawarkan di pameran yang ada di Pekanbaru.

Saya (S): Kenapa pakai nama Tukang Gambar? Kenapa gunakan frasa yang sangat simpel?

Ajiz (A): Ya karena ditemuin nama itu pas kita lagi diskusi simpel. Dan itu sampai sekarang belum ada yang mengklaim nama itu, kan? Mungkin belum ya.

S: Yang saya dengar, konsepnya itu Tukang Gambar akan sediakan alat gambar dari mulai cat dan lainnya?

A: Ya, ada.



S: Ke depannya apakah akan tetap seperti itu? (Pertanyaan ini saya lontarkan karena hari itu saya tidak temukan alat-alat gambar seperti apa yang dijanjikan)

A: Akan seperti itu. Cat sebagian ada di pondok (Pondok Belantara adalah komunitas literasi yang basecampnya di daerah Pasir Putih). Hari ini orang pada ga bisa ngantar ke sini karena lagi ada kegiatan di luar juga. Sebetulnya kalau hari ini Tukang Gambar kumpul semua, rame. Karena lagi ada penggalangan dana (buat korban bencana Sulawesi Tengah) juga, kan? Kita bagi-bagilah. Ga mungkin kita semuanya stay di sini, ga menghargai di sana juga. Kita menghormati temen-temen yang ngajak. Lagian ini juga acara terakhir, kan?

S: Kalau dihitung-hitung, ada berapa pentolan Tukang Gambar?

A: Kalau pentolan ya? Ga ada yang pentolan, semua pentolan di sini. Ga ada yang khusus. Karena balik lagi sih targetnya adalah anak-anak yang hobi gambar. Ga ada pentolan-pentolanan.


S: Berarti intinya menyediakan tempat untuk orang-orang hobi gambar yang bingung cari tempat?

A: He’em. Kalaupun kita hanya bisa gambar ecek-eceklah, tapi kita udah sounding ada kegiatan di sini, ya mereka bisa gambar di sini.

S: Dan saya dengar hasil karya-karya di sini akan dikomersilkan, itu bagaimana?

A: Pasti. Kita bakal gabungin sama, ada Bang Anbes, dia pelukis yang mainnya udah jauh, dia workshopn-ya di Grand Tjokro. Dan karya mereka yang udah dilelang lumayan juga, gitu. Dan dia siap membantu. Nantinya di Pekanbaru ini akan ada coaching clinic buat pameran itu. Dan dia (Bang Anbes) yang akan jadi pemateri di acara itu.

S: Oke, terima kasih Saudara Ajiz atas kerja samanya.

A: Hahaha, iya.

Jadi, kalian nunggu apa? Yang rambutnya pada gondrong tapi cuma nge-game di pelataran Indonesiamart, mending datang ke sini. Malu sama wajah dan penampian, bisanya cuma melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat. Ini gratis, G-R-A-T-I-S, Cuy! Dan kalian akan temukan beragam faedah di sini.

Untuk tulisan selanjutnya, saya akan bahas soal Bikin Ruang, salah satu komunitas “bangsat” di Pekanbaru. Clue-nya, mereka berkomunitas akibat jengah dengan selera seni yang monoton. Penasaran? Pantengin terus media pemasaran kami. Hahaha…

See you!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wadin dan Sarung Hijau Lumut

Salahkah Aku

Dialog Warung Kopi