Awal Semester dan Ribetnya Aneka Grup
Muhammad Ihsan Yurin
Saya bersyukur kepada Allah
‘Azzawajalla atas segala limpahan nikmatnya di dunia ini, termasuk mudahnya
manusia dalam menjalin silaturahmi dan komunikasi now-now ini. Juga saya berterimakasih kepada seluruh pengembang
aplikasi-aplikasi media sosial yang dengan tekun dan penuh hikmat memenuhi
hasrat-hasrat manusia yang sekonyong-konyong ingin dipenuhi. Tak lupa saya
berterimakasih kepada seluruh jajaran dosen yang mudah-mudahan rela
sedikit saya ghibah di tulisan ini.
Anda tau betapa absurdnya momen
awal-awal dimulainya semester baru? Jadwal yang udah nongol sebelum KRS (Kartu
Rencana Studi) diisi, kelas yang terpaksa gabung karena jadwal bentrok,
perkenalan dengan dosen terganggu akibat UKK-UKM lagi promosi di halaman
fakultas, ketua kelas yang super aktif sibuk ngurusin ospek mahasiswa baru,
adaptasi terhadap keadaan kampus yang berubah semenjak berbulan-bulan
ditinggal, dan banyak lagi absurditas-absurditas lainnya termasuk staf
universitas yang kian hari kian menjengkelkan.
Mungkin ndak semua dari kalian tau
karena jujur saja, kampus saya agak mlehoy.
Saya ndak sedang menjelek-jelekkan kampus, cuma memang begitu kenyataannya.
Dan saya sebagai manusia yang agak religius, selalu berdoa agar seluruh
kegelisahan-kegelisahan kami selaku mahasiswa dapat didengar dan dibenahi.
Sampai saya netesin air mani, eh air mata, lho ini.
Tadi siang itu dosen ketiga yang
saya temui dari empat mata kuliah. Dan dari ketiga dosen itu, dua di antaranya
menyarankan agar membuat grup belajar dan berbagi informasi menggunakan
aplikasi Whatsapp. Kabar baiknya, hampir semua tugas
dan info bisa dengan mudah terorganisir. Karena semua notifikasi bisa diterima
dalam kondisi apapun asal punya daya batrai dan kuota yang cukup. Termasuk
kondisi pancaroba, diare, single, ban bocor, belum sarapan, kehabisan duit
ngisi token listrik, hutang rokok menumpuk, ibu kos yang beringas, ditanya
kapan kerja padahal baru semester lima, dan kondisi menyulitkan lainnya. Kabar
buruknya, jika dilihat dari data yang ada, yaitu dua dari tiga dosen
menyarankan membuat grup online,
berarti ada kemungkinan 66% dari dosen-dosen lain akan melakukan hal serupa.
Bayangkan, pada semester ini saya ada sebelas mata kuliah dengan sepuluh dosen.
Maka, kemungkinan besar ada enam sampai tujuh dosen yang akan menyarankan
membuat grup. Ruaaaarrrrbiaasaaaaahhhh kan
analisanya?
Kalau saja semua ketakutan saya
tadi benar-benar terjadi, maka pada saat itu jiwa akun media sosial saya harus
membelah diri menjadi belasan. Lha gimana ndak, grup kuliahan saja sudah enam,
grup kuliahan semester lalu? Semester lalunya lagi? Grup raksasa sak kampus?
Grup alumni? SD, SMP, SMK? Grup nongkrong dan diskusi? Belum lagi grup-grup
nyasar yang ndak tega saya tinggalkan? Biyuhh-biyuuuh.
Bukan apa-apa, kalau grup itu semua bisa dan sepakat di aplikasi yang punya
layanan retract messages, ndak
masalah. Lha kadang salah ngirim pesan yang harusnya bilang sayang ke pacar
malah terkirim ke grup alumni. Kan ngisin-ngisini.
Belum lagi di saat-saat genting
yang melibatkan semua grup, misalnya waktu ujian. Hampir setiap menit grup-grup
itu berbunyi. Dan celakanya, pergerakannya super cepat. Kadang twitter aja
minder. Fokus bisa-bisa gagal. Selain akan gagal dalam memahami alur
diskusinya, juga akan gagal mendapatkan kunci ujiannya. Kan bahaya.
Jadi, buat grup-grupan itu sah-sah
saja. Tapi mbok ya kira-kira. Soalnya rata-rata grup itu mubadzir. Ngabisin
memori gawai dan merusak pandangan. Niat awalnya memang untuk saling bertukar
informasi, tapi kalau belasan grup dengan manusia yang itu-itu saja, alangkah
bijaknya semua urusan didiskusikan dalam satu tempat yang sama. Lebih efisien.
Nah satu lagi, saya itu bingung
dengan orang-orang dengan emosi ganda. Di salah satu grup orang ini akan
ngechat dengan nada-nada kasar penuh kemarahan pada pembahasan, lha di grup
sebelahnya si doi anteng-anteng aja. Malah sesekali melempar emot julur lidah.
Wah wah wah, objektifitas yang mengagumkan. Saluuute!
Komentar
Posting Komentar