Membela Feminisme, Menghapus Paradigma

Rozi Ahmadi


Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang dihelat penghujung April lalu di Pesantren Kebon Jambu, Cirebon, mengindikasikan bahwa gerakan feminisme di Indonesia kian menguat. Kongres perdana itu dihadiri lebih dari seribu ulama perempuan, aktivis dan akademisi dari pelbagai latar belakang. 

Mereka mengonsolidasikan pemikiran untuk isu-isu yang menjadi kegelisahan kaum perempuan. Berangkat dari keprihatinan berbasis riset dan pengalaman, mereka merumuskan solusi atas soal-soal kekinian yang dihadapi kaum perempuan Indonesia—yang berpangkal dari paradigma yang membelenggu kaum perempuan, serta melawan sistem patriarki yang telah bercokol di negeri ini sejak beratus tahun lampau. Para perempuan ulama itu menyuarakan semangat feminisme, menyeru agar kaum perempuan terus membuka diri untuk beraktivitas di ruang publik, tak sebatas kesetaraan profesi umumnya dengan kaum laki-laki, tapi juga dimungkinkan berperan menjadi ulama, ketua organisasi keagamaan bahkan menjadi hakim agama.

Feminisme adalah sebuah gerakan yang lahir dari ketertindasan kaum perempuan. Dari zaman ke zaman, nampaknya kaum perempuan di negara kita ini tak lebih sebagai alat pemuas birahi laki-laki. Kenapa? Ya memang kenyataannya, kita bisa lihat dari zaman penjajahan sampai zaman reformasi, kedudukan perempuan di mata masyarakat kebanyakan hanya sebagai istri dapur-kamar, dan harus selalu menurut apa kata suami secara absolut.

Saya pikir hal ini dipengaruhi oleh budaya Indonesia yang katanya beradab, bermoral, dan menjunjung tinggi nilai kesakralan agama. Tapi menurut saya, ini bukan soal adab atau agama, ini  adalah perilaku konyol yang terus bertahan sampai sekarang sehingga perempuan yang merasa dirinya tidak lagi sanggup terpasung dalam penjara kegelapan akal, melakukan pemberotakan-pemberotakan yang berakibat fatal.  Salah satu contoh, di era Pemerintahan Megawati terjadi demo besar-besaran kaum perempuan yang meminta masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dicantumkan dalam undang-undang. Memang saat itu permintaan perempuan dikabulkan, namun realitanya, dalam proses penegakan hukum, perempuan masih sering terintimidasi. 

Paradigma ini yang tertanam dalam budaya masyarakat kita yang sampai hari ini masih berlaku. Selain dipengaruhi budaya patriarki, alasan-alasan lain dalam kepentingan yang mengatasnamakan agama seperti, ”kalau masih ada laki-laki, kenapa harus perempuan”, adalah cara pandang yang salah. Agama tak menghukum perempuan sekejam itu. Toh, agama masyarakat kita adalah agama yang fleksibel. Dalam Islam, hukum barang yang haram saja bisa jadi halal jika ada sebabnya. Namun kenapa cara pandang ini terus-menerus dijalankan sementara perempuan Indonesia tertinggal dari dinamika peradaban?

Sekarang kita punya sumber daya perempuan yang berlimpah. Bahkan pada panggung pendidikan hari ini, rata-rata perempuanlah yang mendominasi. Sehingga kalau alasan kenapa perempuan tidak pantas memimpin karena secara intelektual, perempuan “di bawah” laki-laki, saya pikir ini tidak relevan lagi. Sebab kebanyakan dari laki-laki Indonesia sekarang adalah laki-laki “pencabul”. Jadi, gaya pikir seperti ini tidaklah seharusnya dipertahankan. Sementara kalau kita tilik dari lembaran sejarah, Aisyah istri nabi saja menjadi pemimpin perang—perempuan berkuda waktu melawan Ali bin Abi Thalib. Jadi, apa lagi alasan kita berlaku tidak adil pada perempuan?

Melihat kondisi Indonesia saat ini saya berspekulasi bahwa yang bisa mengubah negara ini menjadi lebih maju adalah perempuan, bukan laki-laki. Selanjutnya, dalam perpolitikan, kalau ada partai feminisme yang berdiri di Indonesia, saya siap menjadi orang pertama yang mendukung partai itu. Karena sekarang bukan lagi soal laki-laki ataupun perempuan, namun siapa yang mampu dan pantas. Dan kita harus objektif memandang itu. 

Mungkin kita harus berkaca pada Rusia atau Amerika yang memberikan kebebasan terhadap perempuan dalam segala hal, sehingga di sana para perempuan sangat menikmati hidup dengan tidak adanya batasan. Kita bisa lihat betapa banyak perempuan yang sukses di sana, baik dalam industri skala besar maupun kecil. Apa kita tidak iri melihat betapa merdekanya perempuan di sana? Ketergantugan terhadap suami tidak seperti masyarakat Indonesia kebanyakan. Ya kalau suami meninggal, istri gak kebingungan melanjutkan hidup. Tapi di Indonesia, kalau suami tidak ada, istri mau makan apa? Sehingga pada akhirnya istri-istri itu berjuang di tempat-tempat yang tidak layak. Prostitusi, misalnya. Lalu dengan seenaknya kita menghujat meraka tanpa mau tahu latar belakang permasalahannya. Tidak bisa. Terlalu kejam rasanya kita sebagai manusia. 

Lantas siapa yang salah? Budaya yang membangun stigma kolot yang pada akhirnya melahirkan beribu pelacur yang menggadai segenap kehormatannya kepada hidung belang? Atau kita yang membiarkan hal itu terjadi? Subahanallah. Dan dalam keadaan semrawut seperti ini, pemerintah hanya sibuk dengan hal-hal yang saya rasa tak penting, sementara kemelaratan terjadi di mana-mana. Apakah tidak pantas pada akhirnya di negara kita ini, perempuan memberotak dan meminta kesetaraan gender? Apakah salah?

Mari keluar dari dunia prostitusi dan intip sedikit dunia pengemis di Indonesia. Jika diadakan sensus berapa banyak pengemis di Indonesia, saya ragu mereka akan menghitungnya dengan tepat. Lalu kebanyakan dari pengemis itu adalah perempuan, mengapa? Jawabannya sederhana. Saya pernah melakukan wawancara dan observasi pada beberapa perempuan pengemis di Pekanbaru dan mereka berkata, “apa yang bisa kami lakukan untuk tetap hidup dalam keadaan begini, sementara kami ditinggal pergi suami?” Miris sekali. Lalu saya berpikir mengapa hal seperti ini bisa terjadi. Dan saya mengambil kesimpulan bahwa penyebabnya adalah paradigma yang mendasari mereka. Karena kebanyakan perempuan terjebak dalam paradigma dan menganggap suaminya akan tetap selalu ada bersamanya, sementara mereka tidak punya keahlian dan daya untuk bertahan hidup. 

Lantas siapa yang harus disalahkan atas kesewenang-wenangan ini? Apakah negara tidak memberikan perlindungan pada perempuan-perempuan ini, sehingga mereka harus terlunta-lunta ketika suami pergi entah kemana? Jawabanya, IYA. Karena dari beberapa orang yang saya wawancarai, mereka berkata, ”saya sudah mengadu pada pengadilan. Namun karena saya tidak punya apa-apa, ya masalah saya berlalu tanpa kelanjutan”. Ketidakadilan seperti ini haruskah tetap dipertahankan? 

Tidak sampai di situ, rata-rata yang menjadi TKI di luar negeri adalah perempuan. Kenapa seperti itu? Ya karena di negara ini sudah tidak lagi objektif memandang perempuan. Saya pikir pandangan kebanyakan orang di Indonesia tak ubahnya seperti pandangan orang-orang Yahudi yang menganggap kaum hawa adalah penyebab penderitaan. 

Melihat kondisi seperti ini, di mana pemerintah? Di mana peran agama dan di mana peran ulama? Lihatlah oknum pemerintah yang berpidato sana-sini mengatakan emansipasi wanita harus disokong tapi perempuan tetap ditindas. Dan tak ubahnya pula para ulama yang berkotbah dari masjid ke masjid mengatakan “dalam agama kita perempuan sangat dimuliakan”, namun profesi kepelacuran tetap didiamkan. Mana pemimpin kita? Mana ulama kita? Kebanyakan dari mereka hanya sibuk dengan perut dan istri mereka, sementara kezaliman di mana-mana.

Tidak sampai di situ, bolehlah kita kaji penderitaan perempuan di zaman sekarang ini. Berapa banyak populasi janda di Indonesia? Kalau dihitung pakai kalkulator, kalkulatonya bisa-bisa meledak kerena tak sanggup menghitungnya. Sangat banyak dan bahkan banyak sekali. Kenapa? Adakah dari kita yang bertanya? Ini karena kebebasan laki-laki dalam memiliki perempuan tidak dibatasi. Dan jujur saja, saya sangat menyangkal sekali ketika agama memperbolehkan poligami tanpa adanya batasan-batasan. Kalau kita kaji dalam presfektif Islam, dalam surat an-nisa, laki-laki boleh memiliki sampai tiga, bahkan empat istri. Tapi itu dengan ketentuan bersyarat dan ketika syarat tidak terpenuhi, maka poligami tidak boleh dilaksanakan. Inilah yang membuat para perempuan lebih memilih hidup melarat menjadi janda daripada berpologami. Di mana keaadialan? Apakah keadilan hanya untuk laki-laki?

Kenapa saya menulis hal ini? Karena saya berada di antara masalah-masalah itu. Dan saya tidak sanggup melihat kezaliman yang maha dahsyat ini, sehingga hanya kertaslah tempatnya jatuh air mata. Lalu solusinya apa? Solusinya kita harus mendukung gerakan feminisme yang minoritas dan kalau kita tidak membantu mereka berjuang, maka sama saja kita memperkosa ibu pertiwi di tanah tumpah darahmu yang selayaknya tidak dikotori oleh tangan-tangan berdosa itu. Terus semangat dan jangan berhenti bergerak dalam membela hak perempuan. Karena tikus takkan lari kalau ekornnya belum terjepit.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wadin dan Sarung Hijau Lumut

Salahkah Aku

Dialog Warung Kopi