Aku Tak Ingin Dewasa, Aku Tak Ingin Peduli
Muhammad Ihsan Yurin
Beberapa minggu yang lalu aku ditanya seorang teman lama semasa SMK, Pralegi namanya. “Pernahkah kau bermimpi bahwa pintu teleportasi Doraemon benar-benar menjadi kenyataan? Atau sederhananya, agar kita lekas dewasa dan meninggalkan zona bermain-main ini?” Dengan cengengesan aku pun menjawab, “Pernah, dan tak lagi pernah mimpi itu ku ulangi”. “Kenapa? Bukankah menjadi dewasa itu menyenangkan? Salah satunya kita akan terbebas dari semua belenggu perkuliahan yang membosankan ini.” Aku pun diam dan kami berdua hening dalam dekapan dinginnya malam dan kepongahan bulan terhadap matahari. Sunyi.
Sebelum kau memiliki pengalaman, setenang apakah dirimu? Tak pernahkah kau berfikir sejauh itu? Sebelum kau terdoktrin bahwa kebahagiaan didapat dari kesuksesan materi, setenang apakah hidupmu menghadapi roda globalisasi? Tidakkah pernah kau merenungkannya?
Beberapa minggu yang lalu aku ditanya seorang teman lama semasa SMK, Pralegi namanya. “Pernahkah kau bermimpi bahwa pintu teleportasi Doraemon benar-benar menjadi kenyataan? Atau sederhananya, agar kita lekas dewasa dan meninggalkan zona bermain-main ini?” Dengan cengengesan aku pun menjawab, “Pernah, dan tak lagi pernah mimpi itu ku ulangi”. “Kenapa? Bukankah menjadi dewasa itu menyenangkan? Salah satunya kita akan terbebas dari semua belenggu perkuliahan yang membosankan ini.” Aku pun diam dan kami berdua hening dalam dekapan dinginnya malam dan kepongahan bulan terhadap matahari. Sunyi.
Beberapa orang sudah, bertanya seperti apa yang
Pralegi tanyakan padaku. Biasanya aku akan menjawab pertanyaan mereka dengan
sebuah pertanyaan lagi, “Pernahkah kau memperhatikan bumi ini?
Keanehan-keanehan yang kerap muncul tanpa sebab dan asal-usul yang jelas? Atau
implikasi sederhana dari lirik Banda Niera bahwa tak semua tanya datang beserta
jawabnya? Atau apa pun hal semisal yang membuatmu bertanya-tanya tentang
pertanyaan tersebut. Pernahkan?”
Dandi Dwi Laksono, Pram, Marx, Tan, dan tentu saja
Rasulullah, adalah segelintir orang dengan tingkat kepekaan di atas rata-rata.
Aku tak mendaku kepekaanku selevel dengan mereka, bahkan aku tak yakin dapat menyamai
mereka walau hanya seujung kuku. Dengan tingkat kepekaan dan pengetahuan mereka
tentang berbagai permasalahan yang sedemikian rupa, apakah lantas mereka
merasakan kebahagiaan? Aku yakin mereka bahagia karena, ya, mereka adalah
orang-orang yang, aku anggap berhasil pada zamannya. Lalu aku? Kita?
Orang-orang dengan kemampuan minimal yang bercita-cita maksimal? Entahlah.
Pengetahuan didapat berdasarkan pengalaman. Apa
pentingnya membaca? Agar kau mengetahui permasalahan. Lalu apa pentingnya
sebuah permasalahan bagimu? Agar dapat kau selesaikan? Anggap saja begitu.
Bagaimana dengan orang-orang yang mengerti permasalahan lalu tak dapat
menyelesaikannya? Mungkin kau dapat berdalih hanya karena kau telah berusaha,
tapi dalam kerangka berpikirku, dalih seperti ini hanya dipakai orang-orang
yang tak benar-benar mengerti permasalahan.
Sebelum kau memiliki pengalaman, setenang apakah dirimu? Tak pernahkah kau berfikir sejauh itu? Sebelum kau terdoktrin bahwa kebahagiaan didapat dari kesuksesan materi, setenang apakah hidupmu menghadapi roda globalisasi? Tidakkah pernah kau merenungkannya?
Aku tak mengerti mengapa harus memakai kolor setiap
hari. Kenapa ganja itu dilarang? Kenapa aku wajib mengecek beranda Facebook dan
Instagram hampir setiap waktu? Kenapa mahasiswa harus memiliki almamater?
Kenapa perusahaan mendahulukan sarjana dari rakyat biasa? Kenapa tak ada
mahasiswa yang bercita-cita menjadi tukang somay? Kenapa manusia perlu uang? Kenapa ingusku
harus selalu dibersihkan? Kenapa aku harus mandi padahal aku yakin tubuhku
dalam keadaan bersih? Kenapa helm itu kau duduki di bawah selangkangan ketika
berkendara? Kenapa celana jins dilarang di beberapa kampus? Kenapa harga diri
manusia tak terletak pada otaknya? Kenapa perlu sekali berharga diri? Bagaimana
jika semua makhluk dianugerahi akal? Bagaimana anak punk bisa menjalani
kehidupannya? Apa sebenarnya penyebab perang palestina? Kenapa bebal sekali
otak manusia menerima kewarasan? Kenapa semua orang berpikir? Kenapa aku
memikirkan ini? Kenapa dan bagaimana aku bisa menulis ini?
Apa kau pernah mempertanyakan seputar
pertanyaan-pertanyaan tersebut sebelum kau mengetahui barang sedikit saja
pengetahuan tersebut? Aku rasa tidak.
Seorang balita, bahkan tidak sedikitpun peduli tentang
siapa ayah dan ibu kandungnya. Mereka sebegitu biasanya melewati hari tanpa
adanya pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu. Mereka bisa dengan mudah
menimpali penasaran dengan penasaran lainnya dan tak perlu memikirkannya.
Mereka bisa dengan pamrih ketika memberi kemudian ikhlas setulus-tulusnya
beberapa menit kemudian.
Semua pertanyaan yang aku tanyakan tadi, bahkan untuk
pertanyaan dari mengapa aku bertanya mengenai pertanyaan, pasti memiliki satu
bahkan jutaan jawaban. Akan tetapi, aku masih yakin tidak akan mengerti dan
tidak mengerti mengapa aku harus mengerti atas jawaban tersebut.
Apakah kau yakin bahwa anak-anak tak mengerti tentang
sesuatu? Ya, kau benar. Mereka tak mengerti dan tidak perlu mengerti. Karena
mereka bahagia dalam ketidakmengertiannya.
Komentar
Posting Komentar