Matoa: Potret Manusia Miskin Problema
Muhammad Ihsan Yurin
Sore itu, saya agak tidak bersemangat menyongsong acara temu ramah senior-junior yang diadakan di salah satu kafe bernuansa borjuis di Pekanbaru. Ekspektasi tentu tidak selalu berbuah. Berbuah manis ataupun pahit, itu berbuah juga namanya. Dan saya yakin, ekspektasi saya mandul kala itu. Flat saja. Tidak menghasilkan atmosfer apapun. Abstrak.
Sore itu, saya agak tidak bersemangat menyongsong acara temu ramah senior-junior yang diadakan di salah satu kafe bernuansa borjuis di Pekanbaru. Ekspektasi tentu tidak selalu berbuah. Berbuah manis ataupun pahit, itu berbuah juga namanya. Dan saya yakin, ekspektasi saya mandul kala itu. Flat saja. Tidak menghasilkan atmosfer apapun. Abstrak.
Selepas isya, saya berangkat menuju venue. Tidak lupa dengan wardrobe kebanggaan yang sering saya
kenakan: celana cingkrang plus baju
satir zionis dengan sandal Swallow jepit hijau lengkap gelang etnis di sekujur
pergelangan tangan. Sesampainya di lokasi, sorak sorai sangat membahana.
Beberapa wajah senior tampak begitu kontras dengan wajah lainnya. Dan, saya kok
merasa wajah yang Tuhan berikan ini lebih senior ketimbang senior-senior itu.
Entahlah, mungkin perasaan saya saja.
Lalu saya duduk bergabung dengan gerombolan “anak bawang” lainnya sambil sedikit haha-hihi dan mesem-mesem saat beberapa teman aktif mengambil foto selfie. Begitu hebatnya mahasiswa ini, pikir saya. Tidak sedikit pun saya merasa tertarik dengan acaranya kecuali kekonyolan-kekonyolan senior-junior yang membuat saya berkesimpulan bahwa betapa tidak pentingnya seekor makhluk bernama manusia ini. Pasalnya, ketika acara sampai pada sesi hiburan (yang menurut saya tak semenghibur itu) hampir seluruh orang yang hadir fokus tak berkedip. Lalu sisa sesi yang lain? Mereka sibuk berselfie seperti kera yang tak pernah jumpa peradaban manusia.
Lalu saya duduk bergabung dengan gerombolan “anak bawang” lainnya sambil sedikit haha-hihi dan mesem-mesem saat beberapa teman aktif mengambil foto selfie. Begitu hebatnya mahasiswa ini, pikir saya. Tidak sedikit pun saya merasa tertarik dengan acaranya kecuali kekonyolan-kekonyolan senior-junior yang membuat saya berkesimpulan bahwa betapa tidak pentingnya seekor makhluk bernama manusia ini. Pasalnya, ketika acara sampai pada sesi hiburan (yang menurut saya tak semenghibur itu) hampir seluruh orang yang hadir fokus tak berkedip. Lalu sisa sesi yang lain? Mereka sibuk berselfie seperti kera yang tak pernah jumpa peradaban manusia.
***
Acara pun selesai. Saya mulai berdiam
diri penuh selidik. Saya punya hobi, ketika berada di dalam sebuah acara, saya
akan sangat bahagia memperhatikan setiap detil kelakuan orang-orang yang datang
sampai akhirnya tidak lagi ada orang yang bisa saya perhatikan. Entah ini hobi
positif atau negatif, yang pasti saya menikmatinya. Nah, di saat itulah dua
manusia memanggil saya dari salah satu sudut ruangan. Anggap saja namanya Wamoi
dan Putri. Nama yang aneh? Ahh, itukan
sekadar anggapan. Imajiner saja.
Saya, Wamoi, Putri, dan seorang teman
lagi bernama Shafwan (saya lupa menceritakan anak asal Jambi ini di awal. Yang
pasti dia seorang pria yang digadang-gadang akan memajukan provinsi Jambi di
era-era sebelum kedatangan Dajjal) tenggelam dalam diskusi. Kemudian terhenti
ketika kami semua sadar bahwa kafe bernuansa borjuis ini ternyata punya jam istirahat
juga. Kami pun pulang dan dari situlah awal kedekatan saya, Wamoi, dan Putri
yang bisa dikatakan memiliki pemikiran sewarna. Sama-sama pecinta lawan jenis
dan sama-sama tak memiliki pasangan lawan jenis apalagi sesama jenis, tentu
saja. Pokoknya, kami memiliki banyak kesamaan kecuali soal pemilihan merek
deterjen dan ukuran singlet.
Beberapa hari kemudian, saya kembali
berjumpa dengan Wamoi. Pria asli Papua yang entah berpihak pada bangsa mana ini
mengajak saya menemui seorang dosen yang memintanya kembali menghidupkan website fakultas yang sudah lama vakum dalam ketidakjelasan. Saya setuju.
Beberapa kali sebelum bertemu dosen tersebut, kami berdiskusi tentang
harapan-harapan yang akan diwujudkan jika benar-benar diberi keleluasaan
mengelola website kampus. Salah satunya, dapat menyuarakan keresahan tanpa
intervensi. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Sampailah pada hari di mana kami
bertiga dan satu orang yang saya lupa namanya bertemu dengan dosen tersebut.
Aduh, terlalu panjang untuk diceritakan, Mbak! Intinya, harapan kami sepertinya
tidak akan terealisasi kalau hanya berharap pada website kampus. Nah, setelah perjumpaan tersebut, saya, Wamoi, dan
Putri sering bertemu untuk diskusi. Lalu kami juga mengajak seorang senior
bernama Rico untuk bergabung. Akhirnya, kami berkesimpulan untuk membuat blog
ini. Sarana meluapkan emosi tanpa takut dimaki-maki. Bukan hanya soal kampus
yang sak klepet, tapi juga soal-soal
lainnya seperti curhatan putus cinta atau kemarahan akibat melonjaknya harga
odol. Dan tidak hanya mahasiswa, tapi tukang somay pun boleh ikut serta. Yang
pasti, ini bukan blog orang-orang yang merasa perlu dihebat-hebatkan. Ini cuma
blog untuk orang-orang yang merasa hidup ini terlalu indah, terus iseng cari
masalah untuk diperbincangkan, untuk didiskusikan, lalu dituliskan untuk
kemudian disebarluaskan.
Saya rasa cukup untuk perkenalan.
Nama saya Muhammed Ihsan Gibran Abdullah Ibnu Yurin Al-Mubarok. Biasa dipanggil
Yurin. Kalau mau nulis curhatan kepedihan, nulis surat cinta pada kekasih
bayangan, nulis pendapat bahwa marxisme itu ndak
perlu diboikot, nulis bahwa papua itu bisa-bisa saja merdeka, nulis kalau
Jokowi itu ternyata sepupuan sama sepupumu, atau apapun itu boleh dikirim ke email redaksi kami: matoafdk@gmail.com. Kenapa namanya Matoa? Nah, kami pun tidak punya alasan yang jelas
kecuali karena tempat diskusi kami yang memang di bawah pohon matoa. Dan oh ya,
maaf, kami tidak menyediakan honorarium. Lha wong kita sama-sama cari media tempat mencurahkan kegalauan gitu, lho. Mbok ya jangan hitung-hitungan.
Kolektif saja.
See you! Salam
amburadul tapi betul dari kami Matoa, sampai jumpa dan selamat menikmati
konten-konten menyebalkan lainnya.
Wassalam!
Komentar
Posting Komentar