Sesobek Refleksi Keindonesiaan Kita
Riki Asiansyah
Hiruk pikuk di media sosial maupun media arus utama
belakangan ini, tidak jauh dari rasa curiga antarsesama anak bangsa, toleransi yang mulai memudar, serta merasa kelompoknya paling benar dan
memaksakan kehendak. Banyak yang memakai cara-cara menyampaikan pendapat maupun
kritikan yang jauh dari etika dan budaya bangsa yang luhur. Belum lagi, masih
ada orang-orang tidak tahu diri mengotak-atik kesepakatan (social society)
pendiri bangsa ini, yakni ideologi Pancasila yang sudah final. Jika fenomena
ini dibiarkan, tinggal menunggu waktu hancurnya keindonesiaan kita.
Dinamika kehidupan berbangsa dewasa ini memasuki babak
baru namun sebenarnya tidak jauh dari persoalan-persoalan yang telah lalu. Kita
seperti sebuah bangsa yang tidak pernah belajar dari pengalaman-pengalaman yang
telah mengiringi jatuh bangunnya bangsa ini, tanpa mengambil manfaat dari
pengorbanan tragedi-tragedi kelam itu.
Konflik SARA yang pernah terjadi di masa lalu menjadi
pelajaran amat berharga bagi kita, menyadarkan kita betapa besar kerugian yang
ditimbulkan, terutama trauma mendalam bagi mereka yang mengalami.
Bicara soal bangsa tidak lepas dari pemudanya,
berbicara Indonesia tidak bisa dilepaskan dari masyarakat muslimnya. Seperti
yang dikatakan seorang tokoh masyarakat, ulama dan budayawan tanah air KH Ahmad
Mustofa Bisri (Gus Mus), bahwa baik buruknya bangsa Indonesia itu adalah
tanggung jawab masyarakat muslimnya yang mayoritas.
Pancasila sebagai ideologi bangsa—dirumuskan untuk
merekatkan persamaan dalam perbedaan, merupakan suatu solusi yang ditawarkan
sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara dari hasil pemikiran dan
kesadaran akan budaya dan budi pekerti luhur masyarakat Indonesia itu sendiri.
Pancasila yang terdiri dari lima poin besar ideologis selalu bersifat dinamis
dengan perkembangan zaman.
Kita dituntut untuk senantiasa mengembangkannya ke
dalam segala aspek kehidupan untuk menjadi manusia yang berketuhanan sesuai
agama masing-masing. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap kelompok minoritas
maupun sebaliknya. Minoritas di sini tidak hanya dipahami secara kuantintas
namun juga kualitas. Yang banyak melindungi yang sedikit dan yang kaya
melindungi yang miskin.
Kemanusian yang adil dan beradab, setiap agama
menjunjung nilai-nilai kemanusian, memerintahkan setiap umatnya untuk adil dan
beradab, direfleksikan dan dianjurkan dalam tatanan kehidupan dari yang
terkecil personal, keluarga, dan nantinya dalam berbangsa dan bernegara akan
secara otomatis mengikutinya.
Tuhan menganugerahkan kita keanekaragaman yang sangat
indah. Keanekaragaman itu berupa tumbuh-tumbuhan, beragam hewan dari berbagai
jenis, yang tersebar luas dari ujung pulau Sumatra sampai ujung Papua. Dan yang
paling utama sebagai komponon yang mengelola, diberi amanah sebagai khalifah
oleh Allah SWT yaitu manusia-manusia yang membentuk kelompok-kelompok suku
bangsa serta agama di bumi Ibu Pertiwi ini.
Bung Karno paham betul bahwa bangsa Indonesia tidak
akan pernah merasakan kemerdekaan tanpa adanya persatuan. Karena sejarah bangsa
ini maupun sejarah peradaban bangsa-bangsa lain di dunia telah membuktikan
bahwa perpecahan dan nafsu kekuasaan suatu kelompok hanya akan menghancurkan
tatanan kehidupan sosial dan menghancurkan dirinya sendiri.
Sebuah bangsa senantiasa dihadapkan pada
persoalan-persolan yang dinamis dan multidimensional dalam menghadapi
tantangan-tantangan global. Perlu sebuah mekanisme dalam mengambil sebuah
kebijakan untuk mewakili aspirasi maupun kepentingan tiap kelompok. Yang
nantinya kebijakan maupun keputusan yang diambil dapat diterima oleh semua
komponen yang berada dalam komunitas tersebut. Mewakili di sini bukan berarti
kelompok yang mayoritas memegang kendali dalam jumlah perwakilan yang dalam
hitungan satu orang diwakilli satu, akan tetapi didasari oleh kesadaran bahwa
keterwakilan satu mewakili satu kelompok atau golongan.
Problematika yang dihadapi masyarakat dunia saat ini,
umat Islam khususnya, tidak jauh dari masalah keadilan. Keadilan hukum,
keadilan ekonomi, keadilan berbudaya dan sebagainya. Terutama di Indonesia,
ketimpangan masih sangat terasa. Istilah hukum yang tajam ke bawah tumpul ke
atas masih menjadi fenomena dalam perjalaan bangsa ini. Keadilan ekonomi juga
merupakan permasalahan yang terus menjadi momok yang tiada habis-habisnya,
bagaimana kapitalisasi menghancurkan masyarakat melarat tanpa ampun tanpa
toleransi.
Keadilan berbudaya, hari ini tidak usah heran lagi jika
melihat dari pelosok kampung sampai sudut kota, identitas kita sebagai bangsa
yang berdaulat sedang diuji dan dikepung di mana-mana. Ada yang gila
kearab-araban dan banyak juga yang gila kebarat-baratan. Sedangkan yang gila
keindonesiaan dipandang sebelah mata.
Islam hadir di dunia melalui wahyu, adalah sebagai
pesan perdamaian dan keselamatan. Sebuah agama ideal yang mengandung
nilai-nilai luhur kemanusiaan. Tapi realitanya, kebanyakan umat Islam
tidaklah ideal. Jika keselamatan dan kedamaiaan itu sudah tidak lagi didapat
dari kebesaran nama Islam dan komunitas pemeluknya, apakah kita masih sesuai
dengan masyarakat yang diharapkan Allah SWT untuk diberi petunjuk tentang
esensi Islam itu sendiri?
Komentar
Posting Komentar