Guna-Guna
Putri Sari Dewi
Di bawah pohon beringin
tampak sekumpulan anak-anak tengah duduk membentuk lingkaran penuh. Mata mereka
fokus pada sosok yang berada di tengah-tengah lingkaran itu. Adapun yang di
tengah lingkaran tersebut tangannya menggamit sebuah buku. Sampulnya berwarna
cokelat pekat, kusam, pudar dijilat waktu. Kadang buku itu dibukanya, lalu
mulutnya mengulangi kata-kata di dalam buku itu.
Barisan huruf bisu yang
disuarakan oleh wanita itu selalu menarik. Anak-anak menyukainya, teman sebaya
menyukainya, ibu-ibu di desanya juga menyukainya. Sering ketika ia berjalan
menuju pohon beringin seperti biasa, ada saja tawaran untuk menikahi anak
bujang ibu-ibu itu. Ia hanya akan tersenyum mendengarnya. Ia lebih menyukai
buku dan segala tentang buku. Aroma, pembatas dari benang yang dipilin, warna
kertas, dan banyak hal lain. Segala jenis buku ia suka, dan baca tentunya, karena itulah ia jadi berbeda dari gadis-gadis desa kebanyakan,
yang polos dan lugu. Pernah ia berpikir, jika buku bernyawa, ingin ia kawini
buku itu. Buku berharga, buku yang setia.
Nurlaila
namanya. Hasil kawin dari Bujang bernama Tengku Abu dan Ruhayah. Dari Ruhayahlah
didapat mata terang bulan Nurlaila. Sedang warna kulit kuning langsat segar dan
hidungnya yang mirip orang Arab itu turunan dari abahnya. Lengkap dengan tutur
lemah lembut dan sikap anggun, membuat pasangan suami istri yang memiliki anak
bujang di desanya geram ingin menjadikannya menantu.
***
Matahari tepat di atas
kepala. Semilir sejuk angin setia menemani Nurlaila membacakan cerita dan
sajak-sajak. Dongeng Nurlaila tiba pada cerita yang mengisahkan seorang raja
lalim yang mati dengan mulut penuh buih. Sejurus kemudian, Yusup, anak berkulit
hitam bersisik menyela.
“Alamak! Sudah tidak
lain dan tidak bukan. Mestilah guna-guna penyebabnya! Macam Juragan Tabul yang
mati bulan lalu. Bebuih muncungnya, persis
macam raja tu. Lalim bin Kedekut
alias kikir.”
Berderai tawa di
lingkaran itu. Yusup, usianya sebelas
tahun. Yatim-piatu. Mak dan abahnya mati tenggelam saat menjala ikan. Satu
kampung mengenal Yusup. Ia dapat dimintai tolong apa saja, dari mencari kayu
sampai menidurkan anak-anak. Kini, ia menumpang di rumah Juragan Tabul, dengan
syarat Yusup merawat kambing-kambing milik Sang Juragan.
“Aiii kambing akuuu!
Dah bercerai berai. Matilah aku kena berang mak Umai janda Juragan Tabul tu.
Semenjak jadi janda, semakin aneh perilakunya. Aku pamit lebih dulu, Kak.”
Waktu beringsut.
Siang beranjak senja, anak-anak segera pulang ke rumah. Mereka mandi lalu mengambil air sembahyang, melilitkan sarung, mengenakan mukena kemudian beramai-ramai menuju surau. Pun begitu dengan Nurlaila. Ia
segera beranjak pulang.
Selepas waktu magrib,
seusai sembayang dan mengaji, dalam biliknya Nurlaila mengenang kematian
Juragan Tabul bulan lalu. Orang-orang kampung mengatakan Juragan yang telah
haji itu terkena guna-guna. Mahfum Nurlaila dibuatnya, mengapa orang kampungnya
berpikiran demikian. Apabila ada tetangga yang demam, mestilah itu karena arwah
penunggu pohon, batu, atau sebidang tanah yang murka. Sebab ada tingkah polah
orang kampung yang tidak disukai.
Adapun cacar air yang
menjangkiti badan anak kecil merupakan tanda yang diberikan arwah datuk si
anak, bahwasanya si anak diterima di keluarga dan niscaya akan hidup bahagia.
Maka cacar tersebut adalah berkah bagi si anak dan keluarganya. Tidak terkena
cacar, tidak berkah. Tentu saja orang kampung tidak tahu menahu apa itu
penyakit cacar. Nurlaila tahu, sebab ia pernah membaca buku tentang macam-macam
penyakit, dan ramuan dari tumbuhan untuk menyembuhkannya.
Pikiran Nurlaila di
awang-awang. Kematian Juragan Tabul menurutnya karena jamur hutan yang dimakan Sang
Juragan. Dua hari berselang tiga beranak mati dengan kondisi yang sama dengan Juragan
Tabul, setelah makan jamur dari hutan. Tergeletak dengan mulut berbuih. Sang Juragan
kambing pun demikian, tak lagi bernyawa sejak masakan bininya tandas ia telan.
Nurlaila juga masih ingat mak Umai meraung-raung. Cairan dari hidung dan
matanya entah berapa kali tumpah. Entah berapa kali pula ditelan.
Sebenarnya ada niat
hati Nurlaila memberi jelas pada orang-orang kampungnya bahwa kematian Juragan
Tabul dan tiga beranak itu bukanlah perbuatan tenung dan guna-guna.
Mak Lipai, perempuan
tua yang dikira ahli nujum, tewas. Bersama rumahnya yang dibakar orang kampung
yang gelap mata oleh amarah dan alpa ilmu pengetahuan.
Asik dalam lamunan, tak
sadar bahwa maknya Nurlaila telah masuk ke biliknya sejak tadi.
“Laila, apa gerangan
engkau bermenung semacam ini? Pergilah ke ruang tengah. Abahmu ada yang nak ia sampaikan pada engkau.”
“Baik Mak!” Segera ia
beringsut setelah mengikat rambut yang panjangnya hingga ke pinggul. Ia
penasaran ada hal apa kiranya sehingga udara dan perasaan dalam dadanya terasa
aneh dan asing.
***
Yang dikatakan abahnya
kemarin adalah asal-muasal Nurlaila hari ini bermenung sepanjang hari. Menikah?
Tentu saja ia ingin. Tapi tidak sekarang dan tidak dengan Kamir, saudagar yang
sudah berbini tiga itu. Kumis lebatnya melintang menutupi hampir separuh bibir
atasnya. Matanya besar, dan wajahnya, aduhai, tak sanggup Nurlaila membayangkan
akan seranjang dengannya. Terlebih, perangai Kamir yang meski telah kaya kerap
menghisap si miskin dengan utang beranak. Abahnya beralasan memiliki utang budi
dengan saudagar itu. Entah apa. Saat Nurlaila hendak membuka suara, menanyakan utang
apakah sehingga harus ia dinikahkan dengan bapak beranak delapan itu, ayahnya
kembali mengatakan bahwa perkawinan antara ia dan Kamir tetap harus dilakukan.
***
Perhelatan digelar
sedemikian megahnya. Sepuluh ekor kerbau disembelih demi menyenangkan hati para
tamu. Dari penjuru kampung orang-orang tiada henti hilir mudik menghadiri
pernikahan saudagar yang telah berumur, yang pantasnya menjadi abah dari si
mempelai wanita itu. Di ruang tengah kedua pengantin duduk sejajar. Paras
Nurlaila dihiasi berbagai macam bedak dan wewarnaan. Adapun Kamir Sang Juragan
diminyaki berbagai macam wewangian. Dalam benak Kamir sudah tidak kuasa menahan
gejolak memiliki bunga desa untuknya sendiri. Sedari siang senyumnya
tersungging tiada henti.
Tiba-tiba saja tubuh Kamir
bergetar. Ia tersandar ke dinding. Matanya yang besar, semakin besar seiring
dengan buih-buih putih yang keluar dari mulutnya. Nafasnya berhenti. Saudagar
Kamir mati saat menjadi pengantin baru sebelum mencicipi ranjang bakal ia bulan
madu.
Orang-orang berbisik, sebagian tak kuasa menahan pekik. Istri tertua
Kamir jatuh pingsan, anak-anaknya menangis. Suasana di ruang tengah rumah itu
seperti lebah diusik sarangnya. Begitu bising dan tak beraturan. Di sudut
ruangan, Nurlaila menangkupkan kepala ke dalam lutut. Tersenyum diam-diam.
Suka Sama plot twist nya!!!
BalasHapus