Wadin dan Sarung Hijau Lumut

 Putri Sari Dewi



Wadin namanya. Orang-orang kampung mengenalnya sebagai pengumandang azan Surau Ar-Rahman. Anak-anak kampung sering memanggil Wadin dengan sebutan Pak Cik, sapaan lain untuk paman. Wadin hidup sebatang badan di rumah berdiameter empat-kali-empat Meter. Istrinya telah lama tiada sebab batuk berkepanjangan. Keteguran hantu penunggu hutan, guna-guna dan tenung ahli sihir kata orang-orang. Wadin masih memiliki sanak famili satu-satunya yang bermukim di "kampung tengah", alias perutnya sendiri.

Agar silaturahmi dengan familinya tidak putus,  sehariannya Wadin mengumpulkan kayu bakar untuk ditukar uang. Ada yang menukarkannya dengan singkong atau beras.

Senja itu Wadin berkemas hendak ke surau. Selayaknya hari-hari sebelumnya, ia menyalakan lampu teplok, membunyikan kentongan dan bedug yang berada di samping surau. Suara azan mengalun diantarkan angin bersaing dengan jangkrik senja itu. Segera saja, penghuni kampung beramai ramai menuju surau.

Pak Dodoi--ketua dusun menegur Bayan, anak  berumur tiga belas tahun yang hidungnya selalu berkerak sebab ingus yang mengering. Pak Dodoi agaknya jijik melihat Bayan. Disuruhlah si Bayan mundur ke saf belakang. Ia beralasan saf depan diperuntukan untuk para tetua dusun, saf selanjutnya untuk laki laki-laki dewasa, bujang-bujang muda, kemudian anak-anak. Bersungut-sungut air muka Bayan, akhirnya mau pula ia bergabung dengan kawan-kawannya di saf belakang. Wadin yang menyaksikan hal itu  tergerak hatinya, ia lantas berkata kepada kepala dusun yang sudah haji dua kali itu, bahwa jika Bayan telah balig, maka diperbolehkan ia salat di saf depan bersama laki-laki dewasa lainnya. Wadin juga mengingatkan, tak elok menggolongkan saf berdasarkan pangkat dan kedudukan. Rupanya pembicaraan itu terdengar oleh ketua dusun yang lain, Pak Isam namanya. Pak Isam angguk-angguk kepala tanda setuju pada Wadin. Merah padam wajah Pak Dodoi menahan malu. Ia sudah haji dua kali diceramahi oleh Wadin yang mencium debu tanah suci saja tiada pernah.

Karena waktu salat hampir dekat, maka diutus seorang ke depan mimbar untuk melantunkan iqomah. Wadin membenarkan letak sarung. Bersiap menjadi imam.

Tiba masa rukuk tiba, karena posisi Pak Dodoi tepat di belakang imam, tertambat pandangnya pada bagian belakang Wadin, tembuk sarung berwarna hijau lumut. Tak ada niat ingin melihat namun terlihat jua olehnya celana dalam Wadin yang diyakini Pak Dodoi berwarna putih namun berubah menjadi kecoklatan karena usianya yang usang. Dalam rukuknya Pak Dodoi menerka, berapa jumlah celana dalam yang dimiliki Wadin.
Hanyut dalam bayangan celana dalam Wadin, tak sadar ia bahwa kini gerakan salat telah berganti.

Usai maghrib berjamaah, Pak Dodoi mendekat ke arah Wadin. Kala itu Wadin tengah melipat sajadah, menyusunnya hati-hati pada rak kayu yang terletak di pojok masjid.

“Kau dah bikin malu kampung kita, Wadin!"

“Ai, kenapa pula aku jadi aib?”

“Kau lihat sarung kau! Tidakkah kau lihat saat ini sedang di mana? Di surau! Tempat suci, Wadin!”

Wadin melihat sarungnya, setelah diputar-putar, ditemukan alasan mengapa kepala dusun itu gusar. Ia kemudian memandang Pak Dodoi.

“Eh, memang lama sudah tembuk sarung aku ni, Doi.”

“Lalu?”

“Lalu?”

“Mengapa tak kau beli sarung baru?”

“Aku malas, dan lagi aku tak punya uang, tak punya uang maka malas.”

Terkenang Pak Dodoi celana dalam usang kepunyaan Wadin.

“Dan lagi, kau belilah celana dalam kau. Dilihat warnanya, ragu aku sehatkah peliharaan kau itu.”

“Kau memata-matai aku? Hingga tahu pula olehmu warna celana dalamku.”

Pak Dodoi mulai kesal. Namun karena ini rumah ibadah, tempat suci nan sakral, dialihkan rasa kesalnya dengan menggaruk rambutnya, sesekali ditariknya.

“Berkutu kau?”

“Tidak, mana mungkin haji macam aku berkutu.”

Wadin mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Uangku banyak, Wadin. Kau tahulah aku ini pemilik dari enam puluh kambing. Enam puluh!"

“Lalu?”

“Mana mungkin kutu berdiam di kepalaku. Sabun untuk rambutku saja aku beli di Mekah ketika aku pergi haji."

“Ooh,”
tanggap Wadin melengos.

Kemudian pembicaraan kembali pada sarung hijau lumut. Pak Dodoi menyarankan agar ia membeli sarung baru, dianggapnya sarung yang koyak itu menghina Tuhan. Menghadap Tuhan mestilah berpakaian yang bagus-bagus lagi pantas.

“Aku menggunakan pakaian pantas ke surau ini, inilah sarung terbaikku, karena ini sarung satu-satunya yang aku punyai. Lagi pula akan bertumpuk dosaku jika tidak menunaikan salat hanya karena sarung ini.”

Pak Dodoi berdehem memandangi Wadin. Sementara Wadin melanjutkan.
“Nanti ku tambal sarung ini, dan lagi, ketimbang kau khusyuk pada urusan sarung dan celana dalamku, ada baiknya beri aku barang beberapa perak, agar kubeli sarung baru. Juga kau santuni fakir di sekitar rumahmu dari uang kambing sebanyak enam puluh itu. Aku pamit, hendak mengisi kendi wudu.”

Pak Dodoi terpekur, menatap lamat-lamat tubuh Wadin yang menghilang di bilik surau.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Salahkah Aku

Dialog Warung Kopi