Bikin Ruang: Sebuah Respon Atas Dominasi Seni Tradisional

 Muhammad Ihsan Yurin

Credit: Bikin Ruang


Tulisan saya Menjadi Tukang Gambar di Boco Kopi beberapa waktu lalu dikomentari oleh empunya Boco Kopi, Ajiz. “Biasa saja”, katanya. Ditambah aksen “wkwkwk” dan kalimat pelipur lara, “tapi tetap menarik”. Hari ini, setidaknya saya sudah habiskan sepertiga buku Mark Manson: Sebuah Seni Bersikap Bodo Amat. Di bab ketiga judul besar buku itu, Anda Tidak Istimewa, akhirnya bereaksi di kehidupan nyata saya. Nyatanya, tulisan saya memang biasa saja. Orang dengan tulisan luar biasa pun sebenarnya juga biasa saja. Ada ribuan manusia bisa menulis luar biasa, dan itu yang  menyebabkannya biasa. Lalu tulisan biasa? Ada ratusan juta mungkin. Dan ini menjadi sangat sangat sangat biasa. Jadi ya, biasa saja. Ini bukan pembelaan atau gerakan absurd untuk menutup muka. Ya, biasa saja. Gimana ya cara menjelaskannya? Tapi, lupakanlah.

***

Sekitar dua bulan lalu, saya nonton video Paguyuban Pamitnya Meeting episode 12 bersama Rudolf Dethu di Youtube. Beliau adalah mantan manager grup band Superman Is Dead dan salah satu orang berpengaruh di komunitas Rumah Sanur di Bali. Yang paling menarik dari statement Rudolf adalah bahwa Rumah Sanur merupakan kumpulan orang-orang yang jengah dengan seni tradisional Bali. Seakan Bali tidak punya tempat bagi seniman-seniman modern, seakan semua anak Bali dipaksa bisa dan menyukai tari pendet dan kecak. Mereka bukan pembenci seni tradisional, mereka hanya menuntut keadilan ruang dalam berseni di Bali. Dan hal serupa saya temukan di Bikin Ruang.

Bikin Ruang adalah komunitas fotografer Pekanbaru yang muncul karena keresahan pada pemerintah yang tidak sigap mem-follow up talent dan karya terpendam. Ditambah kebosanan mereka dengan dominasi seni tradisional, yang membuat sebagian besar orang menyangka bahwa seni itu tertutup dan sebatas seni tradisional. Kenapa Bikin Ruang? Muhammad Fadhil, pencetus komunitas ini mengatakan bahwa ruang bisa diciptakan di manapun bahkan dengan materi seadanya, selagi ada keinginan untuk terus berkarya.

“Kita punya banyak talent, punya banyak seniman. Apakah karya-karya ini cuma sebatas harddisk dan mau disimpan bertahun-tahun? Apakah ga pengen dipamerin ke orang rame? Nah, kita punya banyak karya tapi ga punya tempat dan ga tau mau digimanain,” tuturnya.

Bikin Ruang hadir sekitar setahun lalu dan langsung membuat gebrakan dengan mengadakan pameran keliling selama satu bulan penuh. Di pameran perdananya kala itu, Bikin Ruang membaginya dalam tiga sesi. Minggu pertama di dalam busway, kedua di jembatan penyebrangan, lalu yang terakhir di bundaran keris. Fadhil mengistilahkannya: nodong.

Mereka naik busway rute Sudirman-UIN dengan membawa hasil jepretan yang telah dicetak, lalu berdiri di dalam bus seperti orang yang sedang berdagang. Respon yang mereka dapat cukup beragam. Banyak orang yang menyangka mereka memang benar-benar jualan, tapi tak sedikit yang penasaran lalu kagum dan baru tau bahwa ternyata itu termasuk kategori pameran.

Bikin Ruang hari ini, telah cukup matang untuk menyebut diri mereka sebagai tim karena struktur dan tanggung jawab yang telah dibagi. Dan karena itu juga sifat kolektif murni tidak bisa selamanya dipertahankan. Akan ada komersialisasi agar Bikin Ruang tetap eksis. Salah satu jasa yang mereka tawarkan adalah konseptor pameran. Bikin Ruang akan menjadi penata agar karya yang dipamerkan bisa sedap dipandang. Karena karya yang menarik tidak lagi  menarik jika tidak ditata dengan  baik. Selain itu mereka juga membuka jasa foto, apapun bentuknya. Mulai dari foto event, foto pernikahan, dan lainnya.

Setelah ngobrol cukup panjang dengan Fadhil, saya tersadar bahwa edukasi seni di Pekanbaru masih kalah jauh dibandingkan daerah lain, katakanlah Sumatra Barat. Di Sumatra Barat ada lebih dari cukup kampus yang fokus pada jurusan seni, terutama seni modern. Institut Seni Indonesia Padang Panjang, jurusan Design Komunikasi Visual di beberapa kampus, dan pemerintah yang memang membuka diri untuk seni-seni selain seni tradisional dan kebudayaan daerah. Fadhil mengatakan, seni juga butuh sesuatu yang segar dan orang tidak bisa dipaksakan selera berseninya.

“Orang yang hobi menggambar tengkorak, tidak bisa kemudian dipaksa menggambar lembayung”, begitu kira-kira ilustrasi sederhana yang Fadhil katakan.

Gaung Bikin Ruang bukan hanya di Pekanbaru, tapi sudah mulai menyasar ke pulau tetangga. Jawa dan Bali salah duanya. Di Jakarta, kegiatan pameran perdana mereka langsung diliput medianya Anton Ismael, fotografer legend Indonesia itu. WhiteboardJournal juga pernah mewawancarai mereka. Dan ketika ke Bali, salah satu anggota Bikin Ruang juga mempromosikan diri sebagai komunitas baru asal Pekanbaru (tapi spesifiknya bagaimana, saya tidak tahu).

Apresiasi orang-orang dari luar daerah sesungguhnya membuat saya miris. Terlihat betapa edukasi tentang seni tidak benar-benar disampaikan dengan baik di Pekanbaru. Tapi Bikin Ruang tak menganggapnya masalah. Malah mereka justru menugaskan diri untuk mendobrak semua itu. Mereka menugaskan diri untuk turut andil memberi edukasi soal seni modern di Pekanbaru. Dan saya benar-benar mengapresiasi niat itu.

Selain dengan Fadhil, saya juga ngobrol via whatsapp dengan Wawan, orang yang sudah bergabung sejak awal-awal berdirinya Bikin Ruang. Untuk dapat bergumul dengan ide seseorang, di saat ego muda menggelora, sangatlah tidak mudah. Semua orang ingin tampil dan memperkenalkan diri sebagai sesuatu yang beda. Hal itu menjadi masalah serius di tengah perang eksistensi era digital.  Dan itu yang menjadi pertanyaan pertama saya untuk Wawan.

“Untuk bisa ikut konsen di idenya bang Fadhil dan teman-teman lain menurut aku ga sulit. Karena memang kami semua punya satu pemikiran, satu jalur, dan satu tujuan.”

Setelah jawaban itu, percayalah, kini saya semakin sadar bahwa semua masalah yang dianggap 
masalah tidak barang tentu jadi masalah bagi orang lain. Jadi, sebenarnya masalahmu itu biasa saja. Kamu saja yang anggap itu luar biasa lalu update instastory seakan-akan masalahmu paling berat di dunia. Padahal ya, biasa saja. Lagi-lagi seperti bab tiganya Mark Manson, Anda Tidak Istimewa. Masalahmu tidak istimewa.

Di Pekanbaru ada banyak kalangan yang belum kenal Bikin Ruang, tapi bukan berarti tidak ada. Jefri Yunando salah satunya. Content creator instagram itu mengaku belum pernah benar-benar datang di event tunggalnya Bikin Ruang tapi cukup kenal dengan meraka. Sedekat pengetahuan Jefri, Bikin Ruang adalah komunitas visual art yang berisi content creator, musik, dan fotografi. Di luar benar atau tidak, Jefri mengungkapkan harapan besarnya agar Bikin Ruang bisa terus menjadi salah satu penggerak agar lebih banyak orang yang semangat dalam berkarya. Karena dalam berkesenian, begitu juga dalam belajar, butuh pemantik dan pendorong agar semangat yang ada terus terbakar. Tidak padam kemudian mati dan membatu.

Terakhir, bagi kalian, Sampah Semesta yang tidak punya kegiatan—makanya bisa baca tulisan ini—yang tertarik bergabung ataupun memakai jasa Bikin Ruang, bisa langsung menghubungi Bikin Ruang di akun instagramnya. Di sana (instagram), kalian juga bisa ikuti kegiatan-kegiatan menarik mereka setiap hari. Satu lagi, tulisan ini bukan seremonial apalagi pesanan. Ini murni gerakan hati nurani saya (walaupun kalian tentu susah percaya) agar komunitas keren di Pekanbaru dapat dikenal minimal oleh orang  Pekanbaru sendiri.

Baik, terimakasih atas perhatiannya. Kalau ada masukan komunitas mana lagi yang ingin direview di blog sialan ini silahkan tinggalkan komentar.

Pesan terakhir dari saya, kurangi merana banyakin karya. Tapi kalau meranamu dijadikan bahan karya, ya tidak apa-apa.

See you!


Komentar

  1. I like, semua karya ngga perlu terlihat wah bagi orang lain. Setidaknya ada karya yang kita ciptakan. Terlihat biasa-biasa saja bagi satu orang belum tentu bagi orang lain. Toh kita punya ciri khasnya masing-masing. Kita punya corak.

    BalasHapus
  2. Good sebuah gerakan gebrakan untuk anak anak muda pekanbaru, agar menimbulkan semangat berkarya, terus berkarya sampai mampus bakarrrr ��������

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wadin dan Sarung Hijau Lumut

Salahkah Aku

Dialog Warung Kopi