Gusur-Gusur Cocotmu!
Bagus Pribadi
kbr.id |
Belakangan ini saya
semakin sering mengikuti pemberitaan dan menyaksikan di media sosial masalah
konflik agraria di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di mana terjadi penggusuran lahan milik warga untuk pembangunan New Yogyakarta International Airport. Proyek pembangunan
bandara ini semakin panas di awal tahun 2018. Saya heran sekali dengan praktik-praktik kerja perusahaan tersebut. Apa tidak bisa mikir atau
bagaimana, yang jelas mereka-mereka itu tampak seperti robot-robot yang
dikontrol oleh orang yang ia juga tidak tahu mengontrol dirinya sendiri. Ya,
coba lihat di akun Instagram @jogja_darurat_agraria, tampak sekali
kegilaan yang dilakukan oleh perusahaan serta aparat kepolisian.
Saya tahu, aparat hanya
menjalankan tugas yang telah diberikan, yoiii diberikan atasannya. Dengan slogan
mengabdi kepada masyarakat, menyejahterakan
rakyat. Tapi, kita semua bisa melihat bahwa petani
dan buruh tani tidak lebih besar perutnya dari aparat tersebut. Apalagi dengan
adanya potret salah satu anggota aparat yang mengacungkan jari tengahnya kepada
rakyat yang menolak pembangunan bandara. Kalau di zaman Orde Baru aparat mengacungkan senjata,
sekarang ini selain mengacungkan senjata, turut pula mengacungkan jari tengah.
Proyek infrastruktur
Pemerintahan Jokowi-JK ini memang sudah berjalan sejak 5 tahun belakangan, dan
banyak rakyat yang menerima pembangunan megaproyek tersebut, dan sekarang
hanya tersisa 37 rumah warga yang bertahan. Mereka yang menerima pembangunan ini beralasan macam-macam terkait adanya pembangunan bandara baru. Bandara lama terlalu sempit, bandara
kelas internasional akan memajukan Yogyakarta, dan argumen lainnya perihal
menyetujui pembangunan bandara. Tapi, bagaimana dengan warga yang menolak? Apa
bisa dipaksa? Kan tidak. Tapi kenapa dipaksa? Mereka yang punya tanah, punya rumah lengkap dengan sertifikat SHM.
Ya, jelas mereka
berhak penuh atas hak kepemilikan mereka. Ya sudah,
itu hak mereka untuk tidak mau menjual tanah mereka kepada siapa pun atas perihal apa pun termasuk pembangunan bandara.
Apalagi tiap daerah pasti ada pemakaman. Dan kita di Indonesia ada yang kurang rasanya
kalau tidak berkunjung ke makam orang-orang terdahulu. Kalau sempat pemakaman
digusur juga, dan diratakan sama semen, kan harus bagaimana keluarga yang dimakamkan
di daerah tersebut. Kuwalat,
ono wayahe kabeh bakal kuwalat, iyo kabeh!
Coba kalau kalian
kedatangan tamu di rumah kalian sendiri, kemudian tamu mengusir kalian secara
paksa. Apa kalian mau? Kan tidak. Lagi pula itu di daerah pesisir. Baru-baru ini ada gempa di daerah tersebut, lah apa yakin
aman tenteram damai
sentosa bandara itu? Dan tidak semua orang naik pesawat, tapi hampir semua
orang--di Indonesia--makan nasi. Kita di Indonesia, orang Indonesia kalau belum
makan nasi belum makan namanya, kau tahulah!
Seharusnya biarlah
mereka yang menentukan hidup mereka. Jangan dipaksa-paksa harus ini harus
itu. Mereka bukan langsung tua, bukan langsung jadi petani. Mereka juga lahir
kemudian kanak dan bercita-cita seperti apa yang dilakukannya sekarang. Mereka
dari kecil menata hidup untuk jadi seperti yang sekarang ini. Kalau digusur, terpaksa
mereka menata ulang hidup yang sudah nyaman mereka tekuni selama
bertahun-tahun. Pakailah sedikit rasa kemanusiaan itu jika kau memang manusia.
Belum tentu mereka langsung bisa menata hidup seperti normal adanya. Kalian
tahu sendiri kalau digusur itu tak enak, tapi tetap saja menggusur orang.
Kalian tahu hidup susah itu tak enak,
tapi tetap saja membuat orang susah. Kalian bangun bandara, kalian investasi
untuk pembangunan bandara, tujuannya hanya untuk mengisi perut kalian. Mau
kalian isi dengan apa perut itu itu kalau pekerjaan petani kalian
musnahkan. Masih ada impor beras? Ya, negara yang mengekspor pun berpikiran
demikian. Nanti kalau sudah tak ada lagi yang bertani, kalian isi dengan kerikil saja perut kalian. Atau makan
semen, makan aspal, makan pesawat, dan makan jari tengah.
Banyak orang-orang
bilang Jogja semakin macet semakin padat. Orang-orang pada mengeluh tapi bangun
bandara, ya makin padatlah itu daerah. Banyak orang tidak mau ambil pusing,
tidak mau turut serta dalam hal itu, apalagi melihat para relawan yang ditahan di
penjara. Berpikiran lebih baik hidup nyaman di Jogja daripada ambil risiko. Apa kalian bisa hidup nyaman
tanpa adanya nasi? Tega lihat saudara sendiri dizalimi?
Katanya Jogja
istimewa, katanya penuh keindahan. Ya sudah, kalau sudah indah buat apa bandara megah?
Apalagi sampai menyiksa sesama manusia. Memang tidak dipungkiri banyaknya
karunia di Jogja. Terus terang saya mengagumi beberapa band dari Jogja seperti
Endank Soekamti, Stars and Rabbit dan FSTVLST. Banyak hal keindahan di Jogja
namun para robot itu tidak ada puasnya juga.
Kalian tak harus
warga Jogja untuk menyikapi
persoalan kekerasan ini. Di Pekanbaru sekalian pun tidak ada salahnya. Karena
Pekanbaru itu Indonesia dan Jogja itu Indonesia.
Komentar
Posting Komentar