Sebuah Kisah Imajinspiratif Oh Yeah


Muhammad Ihsan Yurin

Waktu itu aku sedang berusaha mencabut selipan sisa daging rendang di antara sela gigiku. Sampai pegal rahang ini kurasa. Tapi sisa daging tak juga terlihat. Padahal di samping lidahku, aku merasakan “siluman” itu bergelayutan. Hampir setengah jam aku berkutat di depan kaca dan sebuah pinset, sampai tiba-tiba suara gemuruh itu muncul. Ternyata, terjadi sudah apa yang tetua-tetua adat desaku khawatirkan. Desa kecil kami diserang segerombolan orang-orang tak dikenal. Aku pun lari menyelamatkan diri bersama ibu, ayah, dan adik-adikku.

***

Namaku Jarwo. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahku bernama Parjo dan ibuku Sumingkem. Untuk ibuku, kata nenekku, dahulu ketika dilahirkan, setelah beberapa jam beliau tak juga kunjung menangis. Karena itulah dia diberi nama Sumingkem. Mingkem artinya diam dalam bahasa Jawa. Sedangkan adik pertamaku bernama Panji dan si bungsu bernama Fatimah. Kami tinggal bahagia di sebuah desa kecil nan asri di balik bukit di Pulau Jawa. Sampai peristiwa besar itu terjadi, aku tak pernah benar-benar tau apa yang sesungguhnya terjadi di desaku. Secara dzahir, orang-orang kampung ini terlihat sangat aman sentosa. Begitu pula keluargaku.

Kini aku tinggal di Jakarta. Tidak lagi bersama keluarga dan sanak saudara. Mereka semua tewas dalam insiden mengerikan itu. Akulah satu-satunya yang selamat dari desaku karena ketika rumahku diserang, akulah yang pertama dilempar ayah ke ruang bawah tanah. Kebetulan kamarku berada tepat di samping pintu rahasia yang ayah buat. Aku baru sadar inilah gunanya.

Pinggangku hampir patah waktu itu. Aku menunggu orang tuaku berjam-jam sambil menangis dalam diam. Tak berani bersuara karena aku tau apa yang terjadi di luar. Hati kecilku tau bahwa keluargaku terlambat bergerak. Dan mereka aku yakin sudah tiada. Tapi aku tau harapan sekecil apapun harus tetap digenggam erat. Aku masih punya setitik cahaya. Cahaya itu harus tetap ada dan tak boleh padam.

“Ada orang di siniiiii???”

Aku tersentak dari tidurku. Ternyata semalaman sudah aku menunggu. Aku lihat cahaya mentari menembus dari balik sela-sela pintu. Padahal aku yakin betul ketika aku mangap-mangap di depan kaca mencari daging rendang di sela gigiku, itu waktu menjelang azan isya.

Nuraniku berkata bahwa keadaan di luar sudah kondusif. Aku berlari menuju tangga untuk segera mambuka pintu. Berharap setitik cahaya itu akan membias menerangi yang lain.

“Masyaallah! Hoooiii, ada yang selamat ini!” Kata orang itu kepada temannya yang berjaga di luar. Ternyata yang memanggil-manggil tadi adalah seorang intel yang sedang mengecek tempat kejadian perkara.

“Pak, mana keluarga saya?”

“Sejauh ini baru kamu yang selamat, Dek! Siapa namamu?”

“Jarwo, Pak!”

“Ayo ikut saya ke ambulan. Obati luka-lukamu,”

“Baik, Pak.”

Singkat cerita, aku diadopsi seorang pengusaha dari Jakarta. Waktu itu bapak, kini aku memanggilnya dengan sebutan itu, sedang liburan bersama keluarganya di kampung sebelah. Karena mendengar ada terjadinya kerusuhan yang dahsyat, rasa kemanusiaan bapak terpanggil. Sebagai pengusaha sukses, bapak merasa berkewajiban membantu siapa pun yang membutuhkan. Akan tetapi, tidak ada satu pun manusia desa kami yang selamat kecuali aku. Alhasil, bapak mengadopsiku untuk dijadikannya anak angkat dan membawaku bersamanya ke Jakarta.

Di Jakarta, aku melanjutkan sekolahku. Bapak membiayai semua keperluanku bahkan sampai hal-hal tersier yang aku rasa tak begitu penting seperti mobil pribadi, televisi pribadi di kamar tidurku, dan sebagainya. Dan sekarang, setelah wisudaku di salah satu universitas ternama di Jakarta, aku berhasil menjadi dosen di almamaterku sendiri. Aku duduk di sini sekarang. Walaupun dengan segala macam rintangan, bapak selalu memotivasiku agar tidak pernah menulis kata kalah dalam setiap kamus perjuanganku. Dan aku rasa motivasi bapak berbuah manis. Aku telah membuktikannya.

Sampai saat ini, aku tidak pernah mencari sebab akibat kenapa desa kami diserang waktu itu. Bukan karena tidak peduli ataupun tidak mencintai desa serta keluargaku, tapi menurutku, yang lalu biarlah berlalu. Aku tak terlalu suka mengungkit luka lama. Biarlah kejadian itu menjadi pelajaran bagiku untuk selalu mengikat persaudaraan sesama orang-orang desa. Ya, walaupun kini mereka semua telah tiada, akan tetapi desa-desa sebelah tetaplah keluargaku, keluarga kami. Aku tak ingin kembali kehilangan mereka. Sesekali waktu, bila liburan tiba, aku memilih liburan ke desa-desa sebelah desa lamaku. Membangun ikatan kuat agar tak dapat lagi diguncang pihak lain.

***

Bertahun-tahun berlalu, kini hidupku sudah sangat sempurna. Aku sudah menikah dan memiliki tiga anak laki-laki. Soal pekerjaan, sekarang aku  menjabat sebagai dekan di sini, di almamaterku. Aku bahagia duduk di kursi jabatan ini. Aku bisa membahagiakan keluarga kecilku. Bapak, ibu, kakak-kakak angkatku. Dan terutama, almarhum orang tua, adik-adikku, dan seluruh orang-orang desaku dulu. Aku yakin mereka semua bangga dengan pencapaianku saat ini. Kadang aku menangis di dalam ruang kerjaku. Aku menyesal tak dapat berterimakasih secara langsung kepada seluruh keluargaku di desa. Aku berhutang lingkungan kepada mereka.

Sekarang aku ingin membahagiakan keluargaku yang  ada di desa-desa sebelah di kampungku atas pencapaian ini. Sebagai dekan, aku punya kuasa lebih dalam sebuah kebijakan. Maka, untuk setiap lowongan kerja yang buka di kawasan kekuasaanku, aku akan dahulukan keluarga-keluargaku di desa. Kemampuan mereka aku nomer sekiankan, karena aku yakin semua orang akan berkembang seiring berjalannya waktu. Yang penting mereka semua adalah keluargaku. Aku tak ingin mereka terus-terusasn sengsara. Mereka semua harus berada di atas sekarang. Aku akan bantu mereka sekuat tenaga yang aku bisa. Bahkan beberapa kali aku pernah mendepak orang-orang yang aku anggap tidak lagi kompeten untuk dapat langsung diisi oleh keluargaku. Aku tak peduli apapun ocehan orang di luar sana. Aku hanya ingin mereka semua sukses dan memiliki kekuatan agar kejadian dahulu tak terulang lagi.

Kini, setelah semuanya berjalan, keanggotaan fakultas tempat aku bernaung telah sesuai harapanku. Semua lini kepengurusan sebagian besar telah disusupi keluargaku. Kadang aku ajak mereka keluar kota dengan dalih seminar dan pertemuan-pertemuan. Tentu saja menggunakan dana fakultas. Tapi aku rasa tidak masalah. Toh kegiataannya benar-benar ada. Dan kalaupun aku hanya mengajak keluarga-keluargaku, ini disebabkan keinginanku membahagiakan mereka semua.

Aku hanya terus berdoa agar semua yang aku lakukan dapat diberkahi Tuhan. Aku juga berharap semua keluargaku yang berasal dari desa dapat merasakan menfaat dari jabatan dan kesuksesanku ini. Sekali lagi, aku hanya ingin mereka semua bahagia.

Terimakasih Pak, Bu, semua almarhum keluarga desa lamaku, dan semua keluarga baruku di desa-desa sebelahnya. Aku akan terus berusaha menjadikan hidup kalian lebih layak dari sebelumnya.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wadin dan Sarung Hijau Lumut

Salahkah Aku

Dialog Warung Kopi