Nasihat Soal KKN Berbasis Masjid Mahasiswa UIN
Rico Mardianto
Seperti tahun-tahun sebelumnya, tema KKN (kuliah kerja nyata) UIN Suska Riau tahun
ini masih sama: Pemberdayaan Masyarakat
Berbasis Masjid. Tema ini dipilih barangkali sebagai pembeda dengan KKN dari
perguruan tinggi umum. Dengan mengusung tema ini, diharapkan mahasiswa UIN
mampu menjadikan masjid sebagai basis kegiatan masyarakat. Tema ini juga relevan,
mengingat memang faktanya kondisi masjid di Riau umumnya masih jauh dari peran dan
fungsinya sebagaimana mestinya.
Ketika melakukan perjalanan jauh dengan sepeda motor, saya
kadang kesal ketika hendak singgah salat ke masjid, jarang saya temukan pintu masjid
buka di luar jadwal salat lima waktu. Itu terjadi hampir di semua kabupaten di
Riau. Tapi entah di provinsi lain. Singkatnya, masjid hanya dijadikan tempat
salat lima waktu dan sesekali tempat rapat atau agenda pengajian. Lain tidak.
Sebelum terjun ke lokasi pengabdian, mahasiswa terlebih
dulu diberi pembekalan tentang pelaksanaan KKN oleh pihak kampus, dari hal
yang sifatnya teknis sampai nasihat bagaimana mestinya berperangai di kampung
orang agar tidak bikin malu almamater. Dan, tentu saja ditekankan untuk membuat
program kerja yang lebih berbasis di masjid, baik progja jangka pendek ataupun
jangka panjang. Ya, tujuannya agar masjid menjadi basis kegiatan bagi umat. Di samping KKN sebagai ajang pengimplementasian ilmu di masyarakat sesuai bidang
kelilmuan mahasiswa. Begitulah kira-kira.
Idealnya,
masjid tak hanya sebagai tempat melaksanakan
salat lima waktu,
tapi juga sebagai basis kegiatan sosial, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Di samping masjid juga sebagai
tempat bagi pegiat majelis taklim.
Sejatinya, itulah peran dan fungsi masjid, sebagaimana pada zaman Rasulullah. Ketika
hijrah dari Mekah ke Madinah, beliau tidak membangun rumah dulu, tapi masjid. Begitu
juga ketika aksi bela islam berjilid-jilid kelompok islam politik beberapa waktu lalu,
pengorganisir massa tidak mengumpulkan massa di lapangan terbuka, tapi di
masjid Istiqlal. Mestinya anak KKN UIN juga begitu, bukan ngurus kenyamanan posko
dulu, tapi mantau kondisi masjid, sebagai tempat utama pengabdian.
Tapi bagaimana implementasinya di lapangan? Dari pengalaman
saya mengikuti KKN dua tahun lalu, nampaknya nyaris tak ada beda KKN-nya mahasiswa
UIN dengan mahasiswa dari kampus sebelah. Program kerja yang dibuat itu-itu
saja tiap tahun. Begitu juga anak-anak KKN di kampung saya. Tak ada perubahan
signifikan dari tahun ke tahun. Apa yang salah? Barangkali kita yang kurang
inovasi, dan soal masjid, saya rasa memang masyarakat kita yang belum punya
kesadaran untuk memberdayakan masjid sesuai peran dan fungsinya.
Dalam obrolan saya dengan Ustaz Masyhuri beberapa bulan lalu, ia mengatakan,
secara umum, kondisi masjid-masjid di Riau masih banyak yang harus dibenahi. Oya, beliau ini adalah Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) wilayah Riau dan dosen di kampus saya.
Boro-boro
menjadikan masjid sebagai sentral kegiatan masyarakat, sedangkan pembangunannya
saja terseok-seok. Salah satu persoalan adalah pembangunan masjid di Riau belum
merata.
Masjid yang posisinya strategis di kota misalnya, kasnya selalu
surplus, sementara banyak masjid terutama yang terletak di daerah pinggiran
mengalami defisit anggaran. Untuk itu, kata dia, yang tak kalah penting adalah membangun kesadaran umat agar terpanggil untuk secara
kolektif membangun masjid. Sebab membangun masjid adalah tanggung jawab
masyarakat. Kata Ustaz Masyhuri, jika masjid sudah makmur, maka akan berbanding lurus
dengan kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar masjid—masyarakat sekitar pun niscaya hidup makmur. Dengan
istilah lain, masjid bisa memakmurkan
masyarakat sekitar dan masyarakat sekitar mampu juga memakmurkan masjid.
Ustaz Masyhuri menekankan betapa pentingya merancang manajemen dan program kerja masjid yang
melibatkan masyarakat, agar masjid
terkelola dengan baik sehingga masyarakat merasa nyaman beribadah dan menuntut
ilmu. Hal ini penting, karena masih banyak masjid yang sepi dari aktivitas
selain salat lima waktu dan hanya sesekali digunakan untuk tempat rapat warga.
Padahal, jika masjid dikelola secara baik dengan manajemen dan program yang
memberdayakan masyarakat, niscaya masjid akan selalu hidup dan menjadi sentral
kegiatan di pelbagai bidang.
***
Masyarakat atau umat
Islam adalah entitas yang memiliki keberagaman. Riuhnya caci maki di
media sosial maupun perbenturan antar-kelompok Islam di masyarakat cukup
membikin kita prihatin dengan kerukunan muslim belakangan ini. Situasi diperparah dengan maraknya politik sumbu
pendek.
Dalam konteks ini. Ustaz Masyhuri
berpendapat, keberagaman sebagai fitrah Tuhan, seharusnya diterima dalam menjalin kerukunan muslim. Kerukunan harus dipererat
agar perbedaan yang ada tidak menimbulkan perpecahan.
Dia bilang, kerukunan muslim bisa direfleksikan dengan membangun masjid sebagai basis kegiatan ibadah, ekonomi,
pendidikan, sosial dll.
Untuk membangun kerukunan itu, dimulai dengan membangun
tradisi salat subuh berjamaah di masjid. Disusul dengan kegiatan pengajian
agama dan dilanjutkan dengan membincang persoalan yang dihadapi masjid atau
lingkungan sekitar masjid untuk dicarikan solusinya. Begitu katanya.
Perlu kesadaran bersama untuk membangun
atau memakmurkan masjid atas dasar takwa, bukan atas kepentingan lain.
Intinya, Ustadz Masyhuri mengimbau semua lapisan masyarakat untuk sama-sama
membangun masjid. Mulai dari warga di sekitar masjid hingga ormas-ormas yang
hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Daripada saling berdebat dan
bertikai untuk hal-hal yang berpotensi menimbulkan konflik antar-umat,
berkonsolidasi memakmurkan
masjid jauh lebih bermanfaat. Jika kerukunan muslim itu sudah terjalin, kekuatan iman, ruh, ekonomi, pendidikan, ibadah dan lainnya akan terbangun
kokoh.
Kata dia lagi, kontribusi membangun masjid bisa dari keahlian ilmu maupun materi. Dengan
begitu kekuatan umat bisa
terbangun dan keberadaan masjid yang ditopang kemitraan umat, akan
membawa kemakmuran bagi masyarakat. “Jadi, masjid bukan hanya sebagai tempat melaksanakan salat
lima waktu tapi juga kegiatan gotong royong, muamalah, ukhuwah dan
sebagainya," kata Ustaz Masyhuri.
Masjid, kata dia, hendaknya
menjadi magnet bagi jamaahnya. Daya tarik sebuah masjid, juga tergantung
pada program yang dibuat. "Masjid secantik dan sebesar apa pun kalau tak
ada progaram tak kan ada yang datang," katanya.
Oleh karena itu, kata Ustaz
Masyhuri, perlu upaya serius bagaimana
menarik jamaah mulai dari usia anak-anak hingga orang tua. Paling tidak, dipastikan dulu kenyamanan masjid dari segi
fasilitas dan kebersihannya. Lalu buat
program keilmuan, macam tahsin Al-quran, majelis taklim, dsb. Maka yang datang tak hanya warga sekitar tapi juga menarik orang-orang
jauh.
Lalu bagiamana dengan program kerja mahasiswa KKN UIN dalam memberdayakan masyarakat berbasis masjid? Mampukah mahasiswa KKN UIN menjadi pelopor
pemberdayaan masjid? Semoga saja. Terakhir, selamat mengabdi buat dua sahabat, Wamoi dan Putri.
P.S: Yang menulis tidak lebih baik dari yang membaca.
Komentar
Posting Komentar