Katamu, Kataku Jua

Mauludin Wamoi

Bahasa adalah produk budaya yang disepakati untuk kemaslahatan bersama. Secara umum orang sering mengatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan untuk mencapai tujuan bersama. Apa yang terjadi jika bahasa menimbulkan salah persepsi bagi yang mendengar? Saya percaya, kalian pernah mengalami hal ini baik dengan teman atau pun kucing kalian. Lucunya lagi, jika kalian memarahi kucing yang merampas makanan dengan menggunakan bahasa manusia, aku yakin kucing hanya akan tertawa dalam ketidakmengertiannya. 

***

Sambil mengantar mentari yang hendak pulang ke peraduannya, empat pemuda itu bercengkrama di pelataran kampus. “Gimana carannya bisa menjaring ikan di danau sebesar ini, kawan?” Dengan nada semangat, pemuda lainnya menjawab, “kita rusuh saja dari kedua sudut danau, biar ikannya pada ngumpul di satu sudut lalu kita menangkapnya.” 

“Hahahahah!” Sontak pecah suara tawa dari ketiga kawannya.

“Rusuh”, ketiga orang kawan ini mulai berimajinasi tentang rusuh. “Jadi monster dalam air saja. Lalu buat rusuh dalam danau sambil teriak-teriak,” kata wanita yang cantik sendiri di antara ketiga kawan prianya. Tawa mereka pun semakin meledak sebab mereka mulai menciptakan imajinasi baru soal tokoh monster tadi. 

Tawa belum usai, namun si Kacamata berjenggot dengan celana cingkrang menghentikan semuanya. Bertanya yang entah apa, dan yang pasti jauh keluar dari topik pembahasan sebelumnya. 

Tak ada jawaban atas pertanyaan itu. Bahkan dari salah satu kawan yang sudah semester tua yang mengaku muda dengan cara meminta mereka untuk memanggil namanya tanpa diawali kata abang.

Di seberang danau tempat kami ngerumpi, tampak bangunan masjid besar. Di dalamnya para hamba Tuhan sedang menunaikan ritual mereka. Suara imamnya melengking di udara memecah hening, menyaingi jangkrik dan katak yang tengah berpesta menyambut malam. Ternyata, ini lingkungan kampus, lingkungan akademisi.

Sering kami ngerumpi dan membahas topik yang tidak banyak dipikirkan orang-orang kampus pada umumnya, contohnya seperti pada cerita monster tadi. Ternyata kami hadir dan ada dalam lingkungan dan subkultural yang berbeda. Lingkungan seperti itu selalu membuat kami menjadi orang yang mau menikmati situasi sebagai orang yang mau belajar. Seperti halnya kata “rusuh” yang tidak bersalah tadi, kami tertawakan bersama-sama hanya untuk kepuasan semata.

Bahasa adalah produk budaya, bahasa juga hadir di setiap sudut lingkaran kultural dengan berbagai macam interpretasinya.

***

Tak ada kopi, imajinasi mulai abstrak dan cacing di perut mulai menagih jatah makan malamnya. Diskusi kami sudahi. Sesampai di kos, aku langsung melepaskan sepatu lalu meraih cangkir kesukaanku. Takaran gula dan kopinya masih tetap seperti biasa. Kopi yang berasa kopi banget hanya bisa didapat jika takarannya pas.Takaran yang pas itu: kopi tiga sendok makan, gula dua sendok makan. Yang terpenting dari kopi adalah jangan hilangkan pahit serta hitamnya. Di situlah letak kenikmatannya.

Beberapa saat setelah kopi mulai dingin, aku teringat lagi dengan imajinasi “rusuh” di danau dengan segala konotasinya yang membuat kami tertawa terbahak-bahak tadi. Kini giliran aku pula yang harus tertawa sendiri.

“Kacaukan dulu kopinya, baru diminum!” Seorang kawan kos menegurku yang tengah melamunkan pujaan hati.

Kacau? Aku langsung tertawa menyadari bahasa itu. Sontak imajiku memaknai kata “kacau” menurut prespektif kebanyakan orang timur Indonesia. Hahahahahaha!

Sungguh nikmatnya hidup di negeri ini, benar dan salah adalah sesuatu yang terlihat buram. Dan mestinya ada upaya yang kita lakukan agar semuanya tidak lantas menjadi buram dipandang orang lain. Indonesia terdiri dari kurang lebih 17 ribu pulau, 34 provinsi, dan di dalamnya terdapat lebih dari 700 suku. Tiap suku mempunya satu bahasa, Papua merupakan peringkat pertama di republik ini dengan bahasa suku terbanyak, yaitu kurang lebih 275 bahasa. Tapi, jangan khawatir jika kalian hendak datang ke Papua, karena di sana juga Indonesia, mereka juga berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Hanya saja, ada aksen papuanya sedikit. Saya lebih senang mengatakanya bahasa Indonesia Timur. Yang mau belajar tentang bahasa itu, silakan baca terus cerita ini hingga selesai.

Hal yang perlu saya bicarakan di sini adalah mengenai dialek Papua yang sangat khas. Masyarakat adat Papua seolah tidak mengenal kata "aku" di dalam bahasa mereka. Hanya ada kata "saya" untuk menyebut orang pertama di dalam seluruh level dialog, baik dengan kawan yang sangat dekat maupun dengan orang yang dihormati. Kata "saya" biasanya disingkat menjadi "sa", dan kata "kau" disingkat menjadi "ko". Selain itu, dialek masyarakat adat Papua menggunakan pola terbalik. Misalnya, pengucapan kalimat "matanya cantik", akan dibalik menjadi, "dia pu mata itu cantik". Bentuk terikat "nya", pronomina dan benda yang menyatakan milik, seolah tidak dikenal di sana. Selain itu, partikel penegas "kah" bagi masyarakat Papua juga memiliki berbagai macam fungsi atau makna. Di antaranya berfungsi seperti kata "dong", kata yang dipakai di belakang kata atau kalimat untuk pemanis. Contohnya, "bagi makanannya dong" menjadi "bagi makananya kah". Biasanya kalimat seperti itu diucapkan dengan intonasi yang sangat lembut.

Partikel penegas "kah" juga memiliki makna "atau". Contohnya: "kau memilih hitam atau putih?" menjadi "Kau pilih hitam kah putih?"

Ciri khas lainnya adalah ketika menggunakan kata kerja. Mereka tidak menambahkan awalan "me" untuk membentuk kata kerja, tapi mengucapkan kata dasarnya. Misalnya, "memilih" diucapkan "pilih". Seperti “ko pilih dia kah sa?”

Jadi, dengan bahasa dan ciri khas yang ada dalam dialek mereka, kita bisa tahu dari mana mereka berasal. Seperti yang kita ketahui juga, Papua sendiri merupakan daerah dengan suku dan bahasa terbanyak di Indonesia, yaitu sekitar 275 bahasa. Maka kita bisa berkesimpulan kalau di Papua ada bahasa suku dan bahasa budaya.

So, sebenarnya tak ada masalah dengan keberagaman ini. Dan tulisanku ini dari tadi bukan bermaksud menyesalkan perbedaan di antara kita. Hanya saja, berbagai macam kata yang sama dengan makna berbeda, harus ikhlas menanggung risiko ditertawai orang-orang "tak berakal" seperti kami.


Salam kacau rusuh! Hahahahaha!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wadin dan Sarung Hijau Lumut

Salahkah Aku

Dialog Warung Kopi