Dogma “Suskes Materil” Membentuk Manusia Bermental Oportunis

Muhammad Ihsan Yurin


Dogma adalah paham atau doktrin yang dianut dan telah tertanam lama dalam benak setiap pengikutnya. Dogma bisa ditanam secara sengaja atau pun tertanam dengan sendirinya. Tanpa disadari, afirmasi ringan yang terus menerus diulang bisa membawa pengaruh luar biasa di masa depan. “Tanpa disadari” di sini berkorelasi erat dengan defenisi subliminal message dalam mempengaruhi objeknya. Mental Oportunis dalam meraih sukses materil bukan perkara singkat dalam penciptaannya. Orangtua dan lingkungan adalah otak dari manufaktur prinsipil ini. Pemerintah yang korup, nepoteisme, sampah bertebaran, illegal logging, penindasan hak-hak pekerja, dan segala macam permasalahan yang merajalela dewasa ini tak lepas dari produk yang terciptamungkin tanpa sengajaini.

Sukses materil bagai sebuah fatamorgana atau ilusi indah yang sebuah usaha lambai-lambaikan terhadap pelakunya. Manusia yang mengaku sukses dalam hal materil, sesungguhnya sedang berdusta terhadap keinginannya yang lebih besar. Kebutuhan manusia terhadap materi adalah fitrah dari lahir, tapi menjadikannya prioritas dan orientasi utama dalam kehidupan, ini yang agaknya harus dibenahi.

Kebahagiaan batin tidak sekali-kali akan tertutupi oleh berlimpahnya materi. Orang-orang miskin di kampung (menurut perspektif orang kota) justru lebih tentram dengan kemiskinannya. Begitu juga Muhammad, nabi umat Islam yang senantiasa hidup dalam kesederhanaan tanpa sedikit pun berpikir akan berpongah ria. Padahal menurut catatan sejarah, keadaan ekonominya sungguh luar biasa. Beliau merupakan saudagar kaya raya yang berhasil pada zamannya.

Sigmund Freud dalam teori psikoanalisanya mengemukakan bahwa kehidupan manusia sebagian besar dipengaruhi atau dikuasai oleh alam bawah sadarnya. Ini sejalan dengan teori subliminal message yang menyerang alam bawah sadar manusia demi menciptakan gerakan-gerakan yang tidak disadari alam sadar. Fenomena gunung es adalah yang paling sering dianalogikan tentang alam bawah sadar ini. Apa yang tidak disadari bukan berarti tidak terlihat maupun tidak terdengar. Manusia memiliki kemampuan pendengaran 20 Hz sampai 20.000 Hz dan kemampuan melihat mencapai 260 megapixel per dua mata. Kemampuan ini memungkinkan kita mendengar dan melihat apa pun yang sebenarnya tidak kita sadari.

Alam bawah sadar manusia menyimpan berbagai informasi yang mata dan telinga terima. Baik yang disadari atau tidak. Ini yang akan otak proses untuk kemudian menjadi output tindakan refleks atau pun pembentukan kepribadian dan pola pikir. Dan dogma adalah sebuah doktrin nyata yang terdengar dan terlihat. Maka kemungkinan alam bawah sadar menyimpan informasinya akan lebih besar pula.

Anak kecil yang dibesarkan dalam dogma “sukses” tanpa tahu rincian dari makna kata tersebut, akan lebih mudah untuk dipengaruhi. Orangtua memiliki andil yang luar biasa besar dalam proses pemahaman anak. Dan anak yang dibiarkan memahami sendiri apa yang orangtua dogmakan, akan terlilit pemahaman sesat yang lingkungan ajarkan.

Jika hari ini seorang anak berumur 20 tahun, maka ada waktu sekitar itu pula untuk orangtua menanamkan dogma ke alam bawah sadarnya. Kejadian ini akan terus berlanjut bahkan sampai dewasa, tua, dan si anak kembali meneruskan dogma tersebut ke anaknya lagi.

Ini semua yang kiranya menyebabkan alam bawah sadar membentuk karakter materialistik dan oportunis pada manusia. Segala macam tindak-tanduk yang dilakukan hanya demi memuaskan hasrat “sukses” yang selama ini tertanam kuat.


Bekerja Demi Mengabdi, Bukan Materi

Barangkali ini pulalah yang menjadi penyebab paling fatal dalam kerusakan sebuah pemerintah atau kejahatan-kejahatan birokrasi lain yang terjadi di Indonesia. Bekerja dalam pemerintahan berarti mengabdi dan membantu manusia lain demi kesejahteraan bersama. Bukan semata-mata agar kaya dan memenuhi lumbung padi keluarga. Dengan kata lain, nyawa dari sebuah pekerjaan adalah kebermanfaatan apa yang dikerjakan. Bukan hanya soal apa yang didapatkan.

Prinsip ini yang barangkali sering orang-orang lupakan. Tekun dan giat berusaha sedini mungkin hanya demi harta yang bahkan tak dibawa mati. Kesalahan fatal juga memang, apabila manusia bekerja tanpa sedikit pun memikirkan materi. Hidup perlu uang, kata orang-orang. Itu benar adanya. Tapi sekali lagi, jika uang dijadikan prioritas utama, maka hancurlah masa depan bersama. Akan ada saling tikam bahkan antar-sesama keluarga demi seonggok materi yang dirasa dapat mengantar batin menuju pintu kebahagiaan. Lihatlah bagaimana hancurnya bani-bani besar pada awal perkembangan Islam (bani abbasiah dan bani umayyah). Selain tahta, harta juga menjadi faktor utama kemerosotan kekuasaan mereka. Lihat juga bagaimana sejarah kelam bangsa Indonesia, lihat fakta-fakta lapangan yang sudah menjadi rahasia umum, lihat apa yang Amerika lakukan terhadap klien-klien IMF-nya, dan sebagainya.


Manusia Baik = Pemerintah Baik

Masalah prinsipil ini terlihat tergantung pada ruang lingkupnya. Oportunis dan egois dalam sistem berlingkup keluarga memang tak terlalu terasa, tapi akan berbahaya bila sudah masuk ranah pemerintahan sebuah negara. Bayangkan jika seluruh lini pekerjaan, fokus pada yang jelas berpengaruh (legislatif, polisi, politikus, dll), tidak sedikit pun berpikir tentang nyawa pekerjaan tersebut. Maka yang terjadi adalah apa yang terjadi hari ini. Polisi membantu legalisasi narkoba demi uang sogokan, anggota legislatif sibuk mencari proyek agar dapat uang sampingan, politikus janji segala macam kepada rakyat hanya demi dipilih dan akan menjadi seperti anggota legislatif yang lain. Lalu kita bermimpi soal good government, lakukan seminar-seminar demi membangun mental kepemimpinan, tapi lupa persoalan fundamental yang menjadi pijakan berkelakuan di alam bawah sadar.

Memperbaiki cara berpikir manusia adalah dengan mendekatkannya pada cara berpikir yang dianggap ideal. Pemikiran hanya bisa dilawan dengan pemikiran. Sekadar memenjarakan fisik pemerintah yang korup sama bodohnya dengan memenjarakan fisik seorang teroris. Kesakitan fisik hanya akan menunda kejahatan yang sama, tapi tak akan mengubah cara pandang dan berpikir. 

Agama dan norma-norma adat (terutama Indonesia) adalah yang paling ideal untuk meluruskan para “pesakitan” itu. Memang, butuh waktu mengubah sesuatu yang sudah telanjur. Bak kata pepatah, “seperti melukis di atas air”, akan mudah menyembuhkannya tapi butuh masa untuk mengubah dan meluruskannya. Afirmasi alam bawah sadar juga tak serta merta menimbulkan efek. Butuh usaha yang kontinyu agar hasil yang diinginkan tercapai maksimal.

Sekali lagi, menanam dogma butuh waktu yang panjang. Begitu pula mengubahnya. Maka, hapus dogma jahat itu kepada anak sedini mungkin atau kita akan temukan jutaan produk manufaktur “tanpa sengaja” itu berkeliaran merusak perdamaian di kemudian hari.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wadin dan Sarung Hijau Lumut

Salahkah Aku

Dialog Warung Kopi