Sekolah yang Malang
http://siak-smpn1tualang.blogspot.com/2012/12/info-umum-smpn-1-tualang.html |
Oleh: M. Ihsan Yurin
Akhir pekan
ini begitu cepat. Tadi malam aku tiba di rumah sekitar pukul sepuluh. Lebih
lama satu jam dari batas maksimal yang papaku berikan di weekend
biasanya. Tapi papaku tak marah, sebab bus yang disewa sekolah untuk mengantar
jemput atlet memang berjalan agak lambat demi kehati-hatian. Benar. Aku atlet,
cabang bulu tangkis. Dan malam berlalu sangat cepat. Aku kelelahan bertanding
mewakili sekolah di event open tournament tingkat provinsi yang diadakan
di luar kota. Dan kini, sekilas berlalu, aku sudah berada di gerbang SMP,
menjalani kewajiban lain yang tak kalah penting: belajar dan tentu saja,
upacara.
Pagi ini
sangat tidak membahagiakan. Tapi aku tidak sendirian. Bahkan yang aku
tahu, tak seorang pun siswa di muka bumi yang riang menyambut Senin. Aku masih
di depan gerbang. Setelah mencium tangan papa, ia langsung menarik gas motor
bututnya dan bergegas berangkat kerja. Lalu aku diam menatap sekolah, lalu
langit. Pagi sungguh cerah. Di tengah riuhnya suara oplet-oplet brengsek
bermusik disko yang jadi angkutan umum teman-temanku pergi ke sekolah, aku
masih mendengar kicauan burung, tentu saja. Kandang burungnya tepat di
belakang punggungku. Kicauan burung itu seperti hinaan. Ku rasa ia seakan
berkata bahwa keadaan aku dan ia sama. Sama-sama terpenjara. Aku terpenjara
aturan, sedangkan ia benar-benar terpenjara. Aku menatapnya tajam.
“Burung
sialan”, pikirku.
Kalau bukan
karena aku masih SMP, sudah aku patahkan bambu kandangnya. Biar dia lepas.
Setidaknya, keadaan kami tidak lagi sama, walaupun ia bahagia dan aku terluka.
Aku pun
masuk ke sekolah setelah melihat jam dinding di pos satpam menunjukkan pukul
enam lewat lima puluh tujuh. Tak lama setelah aku meletakkan tas di dalam
kelas, bel berbunyi, menandakan upacara segera dimulai.
Di tengah
upacara, lelah semalam mulai terasa kembali “memanas”. Kepalaku pusing, perutku
pedih, dan keringat mengucur di wajahku. Aku rasa magku kambuh. Tapi aku yakin aku tidak selemah itu. Apa nanti kata teman-teman kalau aku menyerah di tengah
upacara? Masak atlet bulu tangkis, upacara saja lemas. Bayangan cemoohan itu
yang menguatkanku untuk terus melanjutkan upacara.
Upacara pun selesai.
Di dalam
kelas, tubuhku mulai berontak. Aku benar-benar ingin pingsan. Pedih perutku
akibat mag sudah tak terdeskripsikan lagi. Keringatku sudah hampir sebesar biji
jagung. Mataku kunang-kunang. Yang aku ingat cuma satu: kasur. Dua jam
pelajaran pertama berhasil aku lalui dengan perjuangan hebat, tapi setelahnya,
aku menyerah. Teman yang duduk di sebelahku membantu membopong tubuhku ke UKS sebagai
langkah penanganan awal. Tapi jujur saja, prosedur ini hanya formalitas demi
tujuan yang hakiki: pulang.
Akhirnya
papa ditelpon. Guruku yang menelponnya. Aku dijemput dan akhirnya pulang. Tapi
tidak ke rumah orangtuaku, melainkan rumah sakit. Aku didiagnosa mag dan
kelelahan. Aku dehidrasi dan harus mendapat parawatan intensif. Yang pasti, aku
tidak diizinkan dokter untuk sekolah tiga hari ke depan. Aku tertawa girang
dalam hati.
***
Sebuah
Sekolah Menengah Pertama diguncang prahara. Semua siswi dikumpulkan di lapangan
setelah jam istirahat. Pelajaran kalang kabut namun tak satupun siswa
dibolehkan keluar kelas. Mereka was-was dalam diskusi, lebih tepatnya gosip,
menerka-nerka apa yang terjadi. Tapi tentu saja, mereka girang. Seperti gerhana
bulan, Senin “kosong” seperti itu bisa saja tak terjadi lagi berabad-abad
kemudian. Mereka sangat menikmatinya. Tapi tidak untuk para siswi.
Di lapangan,
siswi dipaksa jujur mengatakan apakah mereka sedang haid atau tidak. Yang
terbukti haid diasingkan, sedangkan yang tidak tetap di lapangan. Mereka yang
tidak haid satu persatu digiring menuju ruangan UKS, diperintah membuka rok dan
memperlihatkan organ privasinya. Terang saja mereka bingung. Tapi apa daya,
guru tetaplah otoritas sejati. Tanpa tanya, tanpa bantah, lakukan saja.
Siswi-siswi
itu bingung bukan kepalang. Guru pun demikian. Guru-guru itu bingung menjawab
dan menghadapi pertanyaan yang terus datang bertubi-tubi, memekakkan telinga.
Akhirnya, ada salah seorang guru yang berbisik ke salah satu siswi.
“Di toilet
guru, dekat lab komputer, ada janin bayi”, kata guru itu dengan suara pelan.
Lima detik
kemudian, suasana UKS pecah dan setiap siswi saling berkomentar serampangan.
Mereka semua, yang terbukti tidak sedang haid, tertuduh sebagai ibu dari janin
malang tersebut. Ini akan menjadi berita paling hangat tahun ini, akan menjadi
maha karya siswa SMP paling populer se-kabupaten.
***
Hari Kamis
pagi, setelah mencium tangan papa, aku mengulangi kegiatan yang sama. Berdiri
di depan gerbang sekolah dan membelakangi burung sialan sambil menikmati disko
brengsek dari oplet-oplet yang berseliweran. Dengan seragam jingga khas
sekolahku di hari Kamis, aku merasa jauh lebih siap menghadapi sekolah. Tubuhku
tidak lagi lelah seperti Senin lalu. Mataku tidak lagi kunang-kunang dan
perutku pedih seperti saat upacara berlangsung. Aku segar, aku bugar.
Sesampainya
di pintu kelas, aku merasakan hawa berbeda. Agak aneh. Teman-temanku nyengir,
aku rasa mereka tambah gila setelah beberapa hari aku tinggal. Aku duduk di
kursiku sambil menuggu bel dibunyikan.
Setelah dua
jam pelajaran berlalu, bel istirahat pun berbunyi. Aku hendak ke kantin untuk
jajan dan bercengkrama dengan teman-temanku dari kelas lain. Tapi karena
beberapa hari ini aku tidak masuk sekolah, mereka langsung menyambangi ke
kelas sebelum aku sempat keluar ruangan. Mereka menanyakan kabarku dan
bagaimana aku bisa sakit. Mereka sangat baik. Mereka teman yang perhatian.
Aku masih
menikmati jam istirahat bersama teman-teman sampai seorang guru perempuan
sekaligus wakil kepala sekolahku datang menemui.
“Monik,
gimana kabarnya?”
“Alhamdulilah,
Buk. Sudah enakan, hehe.”
“Ibu mau
minta maaf ya.”
“Kenapa,
Buk?”
“Hmm, hari
Senin ada sedikit kejadian di sekolah kita.”
“Oh ya?
Kenapa, Buk?”
Teman-temanku
mulai cengengesan, aku makin bingung.
“Kemarin
itu, di toilet guru, ada guru nemuin gumpalan darah. Ternyata itu janin, Monik.
Nah, satu sekolahan jadi geger. Semua siswi dikomando agar berkumpul di lapangan,
terus dicek satu-persatu pakaian dalamnya. Kami berusaha agar berita ini tidak
sampai ke luar sekolah, makanya kami ambil tindakan sendiri dulu. Sebisa
mungkin kami yang harus menemukan ibu dari janin tersebut.”
“Loh, saya
baru tahu ini, Buk. Terus gimana, Buk, ketemu?”
“Nah, itu
masalahnya. Tidak satupun pakaian dalam mereka yang berdarah. Ya, itu berarti
tidak ada dari mereka yang terbukti melakukan aborsi di sekolah. Karena kamu
hari itu kebetulan sakit dan minta izin pulang, jadi…….”
“Jadi
kenapa, Buk? Ibuk nuduh saya?”
“Iya
begitulah, Monik. Saya dan guru-guru lain minta maaf sama kamu. Kami mengaku
sudah suudzon sama kamu. Maafin guru-guru ya.”
“Iiiihhh,
Buk! Saya sakit mag, Buk. Saya dehidrasi karena minggu malam baru sampai
setelah tanding bulu tangkis. Saya kurang istirahat dan ga dibolehin sekolah
sama dokternya selama tiga hari. Dan saya ga mungkin ngelakuin hal itu, Buk! Astaghfirullahaladzim.”
“Iya, saya
tahu. Sekali lagi maaf ya.”
“Yasudah, Buk.
Gapapa kok. Eh, tapi Buk, kalau bukan saya dan teman-teman lain yang aborsi,
terus siapa?”
“Nah……………”
Ternyata itu
alasan wakil kepala sekolah bolak-balik menelpon papa saat aku di rawat. Papa
juga sudah sedikit curiga karena tidak biasanya pihak sekolah se-perhatian itu
ke pada siswanya yang sakit. Namun papa tak pernah berpikiran sejauh ini. Aku
menyesal dan kecewa. Sungguh. Aku menyesal tidak ikut dalam serunya kegaduhan
di sekolahku yang, aku yakin tidak akan terulang lagi. Dan aku kecewa karena dicurigai
sebagai orang yang melakukan aborsi dan, menjadi ibu dari segumpal janin
kucing.
Nb:
Ditulis berdasarkan kisah nyata dengan sedikit penambahan
Komentar
Posting Komentar