Salahkah Aku

Muhammad Ihsan Yurin
Sketsa:  M Ihsan Yurin


Mata mereka terus menyudutkanku. Jika kontras pencahayaan hari ini sedikit dinaikkan, niscaya mata mereka akan terlihat merah mengerikan bak monster di film kartun Jepang. Mereka juga berbisik agak kuat agar aku mendengar, sedang mereka tetap dalam posisi berbisik. Mereka seperti berkomplot untuk segera mengenyahkanku dari kampung ini. Memang apa yang salah denganku? Aku rasa bersikap jujur adalah keutamaan dalam hidup ini. Dan mereka membenciku karena aku jujur.

Di umurku sekarang, memang aku belum memiliki seorang pun lelaki untuk kujadikan suami. Entah mengapa aku tidak merasa tergoda oleh lelaki-lelaki itu. Berahiku justru naik saat berkumpul dengan teman-temanku. Aku merasa nyaman dalam pelukan mereka. Dekapan mereka begitu tulus dan hangat. Tidak seperti lelaki. Tapi ini bukan penilaianku pada lelaki. Jujur saja, ketika aku pernah menjalin hubungan dengan seorang lelaki, air tawar lebih berasa ketimbang hubungan kami. Entahlah dia, tapi aku tak merasakan apa-apa.

Apakah aku seorang lesbian? Teman-temanku selalu menanyakan masalah ini ketika aku curhat soal kehidupan asmaraku. Entahlah, aku pun tidak tahu pasti defenisi lesbian itu apa. Soalnya, aku juga masih suka kagum pada pria-pria gagah di televisi. Sujiwo Tejo, misalnya. Atau siapalah. Aku suka style mereka. Aku juga suka pemikiran-pemikiran mereka. Tapi ya, dalam urusan cinta, aku belum pernah merasakannya kepada seorang lelaki mana pun di muka bumi ini.

Semakin hari desakan orang-orang kampung makin menjadi-jadi. Teman-temanku juga beberapa sudah mulai menjauhiku. Takut ketularan, kata mereka. Memang akhir-akhir ini aku sering memproklamirkan diri sebagai lesbian, walaupun aku tak begitu mengerti apa yang aku katakan. Namun, aku rasa kejujuranku perlu mendapat apresiasi. Bukan malah hinaan seperti ini. Bisa saja anak para ibu-ibu di pasar yang selalu menggunjingiku itu juga punya kejujuran yang terpendam sepertiku. Bisa saja.

Dan satu hal yang aku benci adalah aku dituduh tidak normal alias tidak manusiawi alias berpenyakit. Astaga, aku ini manusia yang Tuhan kalian ciptakan. Kalau Tuhan mau, kenapa Dia tidak ciptakan saja aku seperti wanita kebanyakan? Mengapa harus seperti ini? Aku justru memaknai ini sebagai kelebihan. Karena tak banyak manusia melawan arus sepertiku.

***

"Aku menyerah. Ini sudah bertahun-tahun aku selalu mengalah. Selalu menunduk seakan aku bersalah. Persetan dengan kampung ini! Aku akan pindah ke tempat di mana kelebihanku bisa diterima lebih mudah."

Putri, wanita dua puluh delapan tahun itu akhirnya pergi meninggalkan kampung halaman yang membesarkannya. Meninggalkan orang tua, kerabat, dan teman-teman demi menyelamatkan prinsip hidup yang beberapa tahun terakhir diembannya. Putri pergi menuju sebuah negara bernama Lesloss. Negara bagian benua Amefrika itu terkenal karena tiga ratus dua puluh lima ribu penduduknya adalah lesbian. Mereka adalah pendewa akal yang berontak seperti Putri. Berkumpul untuk mendapat kenyamanan serta teman sepemahaman.

Putri mendarat jam dua sore. Langsung disambut mesra oleh kekasihnya Leoni yang dikenalnya melalui media sosial tiga bulan lalu. Putri sedikit terkejut sekaligus bangga pada negara barunya. Kemana pun matanya memandang, hanya ada wanita. Tidak ada satu pun lelaki kecuali pilot negara lain yang mengantarkan orang ke Lesloss dan tidak dibenarkan keluar dari bandara. Peraturan di Lesloss sangat ketat soal lelaki. Bisa dikatakan, mereka semua benci terhadap manusia yang punya tongkat di sela dua pahanya.

Negara Lesloss baru terbentuk empat tahun. Ini atas usulan salah satu anggota grup media sosial yang menceritakan betapa sulitnya hidup di tempat orang-orang yang tidak bisa mengerti kelebihannya. Entah bagaimana bisa, namun akhirnya Lesloss berdiri di bawah kepemimpinan Katrine, mungkin manusia yang paling anti terhadap lelaki seantero jagad, sebagai presiden lesbian pertama di dunia. Banyak negara yang mengecam terbentuknya negara Lesloss. Namun bagaimanapun, inilah faktanya. Orang-orang Lesloss mendaku mampu hidup tanpa bantuan negara-negara yang meragukannya. Sesumbar ini Presiden Katrine sampaikan langsung dalam pidato kenegaraan tahun lalu di hadapan rakyatnya. Mata pencarian mereka adalah bertani, menjahit pakaian, dan apa pun kemampuan yang mereka bawa dari kampung dan bisa dilakukan demi bertahan hidup. Uang tidak terlalu penting bagi mereka. Para lesbian Lesloss lebih sering berbarter ria dan saling membantu daripada bergantung dengan sistem uang. Hampir seperti komunis, di Lesloss kesamarataan adalah kewajiban. Tidak boleh ada yang kurang atau lebih dari yang lain.

Putri sangat menikmati kehidupan barunya yang sulit ekonomi namun mudah dalam berbagi. Kegiatan mereka sehari-hari adalah bekerja, bercengkrama, dan bercinta layaknya kekasih diburu asmara. Sesekali tukar pasangan dalam sebuah pesta kecil pantai juga menjadi agenda tahunan yang mempesona. Namun yang jelas, mereka tak memiliki keturunan. Alam telah menggariskan bahwa indung telur hanya akan berevolusi bila sperma memperkosanya.

Setelah sekian lama tidak lagi ada lesbian yang datang, Lesloss mulai dirundung percikan kekhawatiran."Ternyata dunia luar sudah sangat susah menyuarakan pendapat. Lesbian-lesbian malang itu akan membusuk depresi atau tidak dihukum mati ayahnya sendiri," cibir Putri sambil terus berpesta menikmati senja bersama teman-temannya.

Satu dua orang mulai meninggal. Lesbian-lesbian itu mati dimakan usia. Dan tidak ada generasi penerus mereka. Awalnya Putri hanya berduka seperti biasa mendapati beberapa kenalannya meninggal dunia, tetapi semua berubah ketika jumlah mereka tidak lagi seberapa. Ketakutan-ketakutan itu semakin mendalam pada hati Putri. Teori kepunahan yang sering terpikir mulai bergelayutan di saraf otaknya. Teman-temannya pun begitu. Ada banyak pertanyaan di kepala mereka seperti: apakah kami salah? Apakah kami berpenyakit? Dan lain sebagainya. Awalnya mereka berpikir bahwa anak bisa didapat dengan cara adopsi. Namun beberapa kali mencoba, tak ada satu pun orang tua di dunia ini yang mau anaknya diurus negara yang seluruh isinya adalah lesbian. Akhirnya mereka menyerah dan tak terlalu memikirkanya karena pada masa itu, hidup begitu menggembirakan di Lesloss.

***

"Aku sudah sakit-sakitan, bagaimana nasib kalian ke depannya nanti? Akankah kita punah, Leoni?"

"Diamlah! Istirahatlah dan jangan pikirkan apa-apa," ucap Leoni menahan tangis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wadin dan Sarung Hijau Lumut

Dialog Warung Kopi