Lipatan Kain Penuh Kain

Muhammad Ihsan Yurin

Hawa dingin masih semilir ketika rumah Mak Ijang riuh dipenuhi tetangga. Mereka seakan tak percaya akan kejadian yang terjadi secepat kilat itu: Mak Ijang tewas disepak kuda kesayangannya.

Kejadian itu membuat seisi kampung gempar. Mak Ijang dikenal sebagai seorang ibu yang santun, tetangga yang ramah, warga yang aktif berkegiatan, bahkan di usianya yang senja dan keadaan ekonominya yang pas-pasan, Mak Ijang sering membantu tetangga dan korban bencana Palestina. Belakangan diketahui ternyata Mak Ijanglah pelopor berdirinya Gerakan Peduli Palestina yang rata-rata beranggotakan pemuda dan pemudi yang bahu-membahu mengumpulkan bantuan untuk negara yang tengah berkonflik itu.

Roni, anak Mak Ijang, sering dicekoki doktrin untuk tak menjadi manusia egois yang hanya hidup untuk kepentingan perut dan keluarga sendiri. Mak Ijang juga sering memberinya wejangan berisi  kombinasi ajaran Nabi Muhammad dan Karl Marx. Terdengar aneh memang, karena kedua ajaran tersebut saling bertolak belakang soal prinsip ketuhanan. Akan tetapi, kata Mak Ijang, Marx sangat peka terhadap penderitaan umat manusia sama seperti Nabi Muhammad. Bahkan kepedulian Nabi tak hanya secara simbolik, namun juga esensi. Nabi Muhammad tidak hanya memikirkan perkara yang manfaatnya jangka singkat, namun juga jangka panjang. Sampai bumi ini kembali ke Yang Kuasa.

***
Sore itu Mak Ijang tergopoh-gopoh memasuki rumahnya. Roni tercengang sampai lupa memasukkan nasi yang telah sedia di sendok bagaikan pelari yang hendak memulai lomba.
Sampai di kamar, Mak Ijang mencari buku tulis yang biasa dijadikannya catatan agenda kegiatan penting. Menulis beberapa kata dengan kombinasi angka dan tanda baca. Memberi beberapa warna pulpen berbeda pertanda penekanan yang berbeda pula. Entah apa yang ditulisnya. Yang pasti setelah tulisan singkat itu selesai, Mak Ijang merobek kertas dari buku lalu melipat beberapa kali untuk lantas menempelnya di dinding dalam lemari bajunya yang terbuat dari kayu. Kemudian Mak Ijang duduk terkulai sembari menarik napas dalam-dalam dan melepasnya, tanda kepuasan.

Roni masuk ke kamar Mak Ijang setelah mengucap salam. Dalam keluarga Mak Ijang, dahulu ketika suaminya masih hidup, selalu mereka diwajibkan mengucap salam ke setiap kamar meskipun masih bersatu atap yang sama. Dan norma keluarga itu terbawa sampai Roni dewasa selepas 13 tahun kepergian ayahnya.

"Ada apa, Mak?"

"Ndak ada. Dah siap kau makan?"

Sambil menggerogoti tulang punggung ayam, Roni menggeleng.

"Dah dah, siapkanlah makanmu. Bentar lagi magrib. Ke masjidlah kau!"

"Siap, Mak!"

Malam pun datang seperti biasa. Mak Ijang menyeruput kopi di dapur sambil sesekali membalik pisang goreng di wajan tua peninggalan ibunya. Menikmati suara jangkrik dan angin malam yang sesekali masuk melalui celah dinding kayu rumahnya. “Sebelum Roni pulang taklim,” pikirnya, "mending aku nonton berita saja. Malas pula aku tiap hari harus mengikuti selera mudanya. Sibuk nonton film bule-bule kapitalis itu. Anak muda sekarang tak tau dan tak mau tau konspirasi-konspirasi apa yang bule-bule kurang ajar itu ciptakan dari produksi masif film-film itu. Mereka cuma mau menikmati tanpa berpikir. Memang tidak semua, hanya saja Roni ini ku rasa tak masuk pengecualian itu."

Mak Ijang memang terkenal dengan daya pikir kritisnya. Bahkan di usianya yang menginjak kepala delapan, Mak Ijang masih aktif bermedia sosial. Menyuarakan aspirasi dan membangun ikatan dengan kolega-kolega lamanya semasa kuliah dulu. Kegemarannya membaca pun tak tanggung-tanggung. Mulai dari buku paling atheis sampai agamis, mulai dari paling komunis sampai kapitalis, habis dilahapnya. Tapi, kecenderungannya pada buku-buku merah tetap tidak dapat dipungkiri.

Di rak buku-buku kesayangannya, jumlah buku fikih, hadis, dan akidah sama banyaknya dengan buku pemikiran Marx, Lennin, Pram, Nietzsche, Tan Malaka, bahkan Bakunin, Adam Smith, Khomeini, dan yang sejenisnya. Namun bagaimana pun, Mak Ijang tetaplah muslimah seutuhnya, tetap kukuh di atas agamanya. Katanya, Islam adalah dasar pemikiran. Sedangkan ideologi-ideologi lain hanya sebatas pengetahuan belaka.

Kebiasaan Mak Ijang menyalurkan aspirasi melalui media sosial kadang membuat gerah antek-antek pemerintah curang yang selalu diawasinya. Benar saja, beberapa kali rumah Mak Ijang didatangi preman demi membungkam jarinya. Membungkam status-status media sosialnya. Tapi,ketika mendapati preman-preman itu mengamuk di halaman rumah, berteriak-teriak mengancam akan membakar rumah jika jarinya terus menulis, Mak Ijang dengan senyum sarkas melenggang keluar rumah dengan santai. Mak Ijang melihat gawainya lalu menekan beberapa tombol. Tak berapa lama kemudian, muncul suara. Ternyata Mak Ijang sengaja mengencangkan suara gawainya agar terdengar preman-preman itu.

"Halo Bosqueee!"

"Heyyy, Mak Ijang! Apa kabar kau?"

Mak Ijang melirik beberapa preman yang sudah mulai gemetar mendengar suara tersebut sambil berbisik halus, "Kau tau kan siapa ini?"

"Iya, Mak," kata seorang preman dengan suara parau penuh ketakutan.

"Ini, Bapak dari bosnya bos kau! Kau pikir tak kenal aku jaringan bangsat bisnis bos kau itu? Aku puluhan tahun lebih dulu hidup dari pada kau! Pergi kau dari rumahku kalau tak mau kepala kau berpisah dari badan besok pagi!"

Preman-preman itu pun kocar-kacir berlarian. Hanya meninggalkan asap bekas kendaraan mereka di halaman rumah Mak Ijang. Mak Ijang pun tertawa setelah menutup gawainya.
Begitulah Mak Ijang. Terkenal dengan kesaktiannya dalam berpikir dan persahabatannya dengan petinggi-petinggi mafia di negaranya. Walaupun begitu, Mak Ijang pernah mengaku kepada Roni bahwa menyelesaikan perkara tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengeksekusi sebuah permasalahan. Makanya, Mak Ijang lebih senang berorasi di media sosialnya. Membuat gerah orang-orang licik di lingkungannya bahkan para sahabat-sahabatnya sendiri. Mak Ijang bahkan tak segan menulis nama orang yang sedang dibicarakannya di kolom statusnya. Sambil tertawa, Mak Ijang pernah berujar, "Kalau ada masalah sama yang satu, kan masih bisa minta tolong ke yang lain, hahahaha."

Dengan kemampuan yang dimilikinya, Mak Ijang tak memilih jadi pahlawan bangsa alias politisi. Dia lebih memilih mengurus kuda-kuda peninggalan suaminya, lalu menyewakannya pada turis yang hendak berkeliling desa.

Kini, Mak Ijang sudah cukup renta. Tiga kali lebih renta dari saat preman-preman datang memaki-makinya di halaman rumah dahulu. Kini, Mak Ijang menghabiskan waktu hanya dengan mengurus dapur, memandikan kuda, berstatus soal melulu kebaikan dunia akhirat, dan sering kali mengikuti taklim rutin di masjid samping rumah. Tidak lagi membicarakan politik sebagaimana masa gelora mudanya dulu. Paling tidak kegiatan itu baru ditinggalkannya 7 tahun belakangan. Setelah pertama kali rutin mengikuti taklim.

***
Roni, anak satu-satunya Mak Ijang sudah menikah. Bahkan sebentar lagi menimang cucu. Anak bungsu Roni yang lebih dulu menikah tengah mengandung enam bulan. Kebahagiaan tiada tara menyelimuti keluarga Roni sampai ketika Susi, anak Roni yang tengah mengandung tersebut menulis beberapa kata di kertas di kamar dalam posisi persis seperti Mak Ijang dahulu.

Roni termenung sesaat menyadari bahwa setelah tiga puluh dua tahun kepergian ibunya, dia lupa membuka kertas yang dulu sempat membuatnya penasaran.

Roni segera ke kamar ibunya. Kamar itu dibiarkan kosong untuk sesekali Roni menidurinya jika dia rindu pada ibunya. Semuanya masih sama seperti apa yang ditaja ibunya sebelum meninggal. Bahkan susunan baju dalam lemari tak berubah sedikit pun. Roni akan marah besar ketika ada orang yang memindahkan posisi barang di dalam kamar tersebut. Itu bukti kasih cintanya pada Mak Ijang yang meninggal mendadak dua hari setelah tergopoh-gopoh memasuki kamar.

Roni mengambil kertas yang tertempel rapi di dinding dalam lemari baju Mak Ijang. Lalu membuka lipatan-lipatannya. Tulisan itu masih bisa terbaca namun samar karena tinta puluhan tahun pasti tidak sejelas ketika baru ditulis. Dalam posisi membaca, Roni menitikan air mata. Tak lama kemudian tersedu-sedu sampai air matanya mengalir membasahi jenggot lebatnya. Di dalam surat tersebut, Roni membaca:

"Roni anakku. Nanti, ketika ibumu ini meninggal, tolong hapuskan semua media sosial ibu. Di sana banyak cacian dan makian ibu terhadap orang lain dan pemerintah. Ibu takut itu menjadi pemberat bagi ibu. Namun sekarang, ibu belum rela menghapusnya karena masih ada benci yang besar dalam hati ibu. Tapi nanti ketika ibu meninggal, tolong hapus semuanya. Ibu tak mau tersiksa, Nak! Ustadz yang mengisi taklim sore ini sudah sangat mewanti-wanti untuk tak meninggalkan dosa sedikit pun ketika meninggal. Sebagaimana amal, dosa pun ada jariahnya, Nak. Terimakasih."


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wadin dan Sarung Hijau Lumut

Salahkah Aku

Tidak Terima